Tuesday, May 14, 2013

ANALISIS SEJARAH PEMERINTAHAN ALI BIN ABI THALIB




Kajian ilmiah yg sgt MENARIK dari SUMBER YG NETRAL oleh para peneliti sejarah.

Sejarah awal perpecahan umat, shg terbentuk PANDANGAN2 BERBEDA krn desakan2 politik dan kepentingan sehingga melahirkan pemikiran teologi tandingan atau pemahaman2 miring tentang aqidah dan awal terbentuknya kelompok2 oposisi  yg menyeret tindakkan para pelaku konflik politik ke dalam paradigma teologis yang kaku dan ekstrim yakni "SYIAH" pengikut sy Ali  dan "WAHABI" kaum khawarij yg membangkang, sangat menarik utk dikaji (dibaca) dengan hati yg BERSIH.......semoga bermanfaat shg kita memiliki dasar pemahaman yg jelas agar tdk terpengaruh...!!!


Oleh: Nizar A. saputra, Saeful Rokhman, dan Hendriyanto
I. Pendahuluan
Pertama kali yang kami rasakan ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar bagi kami. Pada waktu itu, terjadi berbagai konflik atau tepatnya fitnah di kalangan para sahabat, seperti Perang Jamal (terjadi antara golongan Ali dan Aisyah) dan perang Shifin (terjadi antara golongan Ali dan Muawiyah). Generasi sahabat yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai Khairu Ummah mengalami peristiwa yang benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu sekali pun. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum muslim, terutama para pengkaji sejarah Islam.
Melihat permasahan yang sedemikian rumit ini, bahkan sering juga muncul fitnah yang mencitrakan buruk bagi generasi sahabat di masa itu, maka kami sebagai mahasiswa Islam selain dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, kami juga merasa ada kewajiban untuk ikut serta meluruskan opini-opini miring tentang Ali bin Abi Thalib. Terutama yang disajikan oleh kalangan Orientalis dan para pengikutnya yang tidak jujur dan obyektif dalam mengkaji Sejarah Islam. Konflik-konflik yang terjadi di masa itu menjadi bulan-bulanan untuk memberikan citra buruk terhadap Islam.
Sebenarnya, pembahasan masa khalifah Ali ra sudah banyak dilakukan oleh para mu’arrikhin. Ada yang menganalisa masa khalifah Ali dari segi politiknya, seperti yang dilakukan oleh dosen STID Mohammad Natsir, Jeje Zainudin Abu Himam, MA, dalam buku yang berjudul “Akar Konflik Umat Islam; Sebuah Pelajaran dari Konflik Politik Pada Zaman Sahabat”. Meskipun dalam judul bukunya terdapat kata “Zaman Sahabat”, namun fokusnya adalah masa khalifah Ali ra. Buku itu secara spesifik membahas tentang konflik politik yang terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Buku itu cukup representatif untuk meng-counter buku-buku sejarah Islam yang ada di Indonesia[1] yang tidak adil dalam memaparkan sejarah tentang Ali ra. Ada juga yang membahas masa khalifah Ali dengan tujuan memberikan deskripsi yang utuh dan menyeluruh, seperti yang dilakukan Husain Haikal. Ada juga buku yang membahas Ali ra, -yang menurut kami tidak proposional/subyektif–  sebagai sosok yang telah dicederai oleh para ulama Sunni, seperti yang dilakukan oleh George Jordac. Jordac dalam bukunya tersebut menyebut bahwa Abdullah bin Saba yang sering disebut Sunni sebagai tokoh fiktif yang sengaja dibuat-buat.[2]
Tentunya, membahas khalifah Ali dalam sebuah makalah yang sederhana tidaklah akan cukup dan memuaskan. Namun, belajar dari uraian buku-buku di atas, kami berusaha untuk memberikan beberapa analisa dengan menggunakan buku-buku itu, untuk kemudian menguatkan atau bahkan mengkritisi, bila memang terdapat pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan data-data sejarah yang ada. Kami akan mulai pembahasan ini dengan menganalisa situasi di akhir pemerintahan Utsman bin Affan. Kemudian akan kami bahas tentang pemerintahan Ali dan berbagai peristiwa penting yang terjadi. Adapun masalah futuhat, di sini kami akan membahasnya secara sepintas. Di makalah ini juga, kami tidak akan menhadirkan biografi Ali, sebab yang jadi fokusan kami adalah masa kekhalifahannya. Ini sengaja kami lakukan agar tidak memperlebar pembahasan.
II. Situasi Terakhir Pemerintahan Utsman bin Affan r.a
Sudah dimaklumi bahwa satu peristiwa pasti berkaitan dengan peristiwa yang lain, hal itu biasa disebut dengan kausalitas. Begitu juga dengan peristiwa yang menyangkut dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemerintahan Utsman bin Affan, terutama pada masa-masa akhir pemerintahannya. Utsman bin Affan dibunuh secara tragis oleh salah seorang yang disebut dalam sejarah-sejarah sebagai rombongan penentang pemerintahan kekhalifahan Utsman bn Affan.
Pembunuhan kepada sang khalifah terjadi akibat berbagai insiden yang mendera pemerintahan Utsman dan rakyatnya. Peristiwa itu diawali dengan pembangkangan yang dilakukan penduduk Kuffah, Mesir dan Bsharah terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan. Mereka memprotes kebijakan Utsman yang dinilai terlalu mementingkan sukunya. Oleh karena itu, mereka meminta kepada khalifah Utsman untuk memecat para pejabat pemerintahan yang mereka tidak sukai. Diantaranya adalah Al-Walid bin Uqbah (Gubernur Kuffah), Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah (Gubernur Mesir). Mereka bergabung menjadi satu koalisi pergi ke Madinah untuk memprotes dan menentang terhadap kebijakan-kebijakan Utsman.[3]
Khalifah Utsman akhirnya bersedia untuk mengabulkan permintaan mereka dengan mengganti Al-Walid bin Uqbah dengan Sa’id bin Ash, dan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah dengan Muhammad bin Abu bakar. Keputusan itu untuk sementara memberi rasa lega kepada rombongan koalisi penentang dan memberi optimisme kembalinya perdamaian. Karena itu pula mereka bersedia membubarkan diri untuk kemudian pulang ke negeri asal mereka.
Beberapa saat kemudian, sejarah berbicara lain, rombongan itu kembali lagi ke Madinah dengan membawa kemarahan meluap-luap. Mereka membawa sepucuk surat rahasia yang dirampas dari seorang budak  Utsman yang sedang berlari kencang menuju Mesir. Isi surat yang berstempel Khalifah Utsman tersebut memerintahkan kepada Gubernur Mesir agar menangkap dan membunuh para penentang khalifah. Anehnya Khalifah Utsman pun berani bersumpah bahwa ia tidak pernah menulis surat semacam itu. Bahkan ia meminta dibawakan bukti dan dua orang saksi untuk mengklarifikasi keberadaan surat itu. Setelah tiga hari tiga malam, ultimatum para penentang ini tidak digubris oleh Utsman, beberapa orang berhasil menerobos barisan penjaga gedung Utsman dari atap rumah bagian samping lalu membunuh Khalifah Utsman yang sedang membaca al-Qur’an. [4]
Peristiwa terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang itu menyisakan banyak teka-teki sejarah  yang tak kunjung memuaskan. Terutama mengenai misteri surat rahasia itu yang menjadi tanda tanya besar bagi para pengkaji sejarah Islam. Siapakah sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas keberadaan surat itu. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai konflik pada masa kekhalifahan selanjutnya.
III. Pemerintahan dan Kebijakan Politik Ali r.a
Pembai’atan Ali berjalan dengan mulus dan mayoritas penduduk Madinah menerima kekhalifahan Ali dengan antusias. Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi politiknya. 

Menurut Jeje Zainudin, sedikitnya ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu.  
Pertama, sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang paling memahami persoalan ini.  
Kedua, mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat.  
Ketiga, tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin.  
Keempat, melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman lidah dan tangan.
Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.[5]
Menarik untuk dibahas, meskipun pembai’atan Ali berjalan mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib.
Pertama, kelompok yang melarikan diri dari Madinah menuju Syam segera setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut campur dalam pembai’atan pengangkatan Khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung setianya. Di antaranya adalah tokoh dari Bani Umayah adalah Marwan bin al-Hakam dan al-Walid bin Uqbah. Sementara dari tokoh-tokoh pendukung setianya yang ikut melarikan diri ke Syam adalah Qudamah bin Madh’un, Abdullah bin Sallam, Mughirah bin Syu’bah dan Nu’man bin Basyir.
Kedua, Kelompok yang menangguhkan pembai’atan terahadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan situasi. Diantaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Tsabit, Muhammad bin Salamah, Usamah bin Zaid, dan Salamah bin Salamah bin Raqis.
Ketiga, kelompok yang sengaja tidak mau memberikan bai’at kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib meskipun mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya adalah Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, Zaid bin Tsabit, Rafi’ Khadij, Abu Sa’id al-Khudry, Muhammad bin Maslamah, dan Maslamah bin Mukhallad. Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan.
Keempat, kelompok sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum pulang saat terjadi pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan, sebagian kecil mereka tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari Mekkah. Termasuk di antara mereka adalah Aisyah radiyallahu ‘anhaa.[6]
Sikap kaum muslimin di atas, berpengaruh besar terhadap pemerintahan khalifah Ali di kemudian hari. Gambaran situasi awal pembaiatan Ali seperti diungkapkan diatas cukup menjadi isyarat tentang rumitnya situasi politik menjelang dan pasca pembunuhan Utsman. Hal ini menjadi preseden tidak baik bagi situasi politik yang dihadapi Ali. Bagaimanapun, Madinah adalah ibukota Negara dan pusat kewibawaan agama semenjak Nabi Muhammad hingga tiga Khalifah sesudahnya. Keputusan politik dan keagamaan yang disepakati penduduk Madinah menjadi acuan bagi seluruh wilayah Islam yang ada di luarnya. Untuk saat itu, dapatlah dikatakan Madinah menjadi barometer keutuhan umat. Sebab, disinilah berkumpulnya  para sahabat Nabi yang sangat dihormati oleh generasi sesudahnya. Jika penduduk Madinah saja sudah tidak utuh dan bilat dalam suatu keputusan politik public, maka penduduk di luar Madinah akan lebih sulit lagi untuk bersatu menerimanya.
Meskipun keadaan politik saat itu begitu rumit, Ali ra, sebagai seorang khalifah tetap menjalankan berbagai program untuk merealisasikan visi pemerintahannya. Yang sangat penting dilakukan pada saat itu adalah bagaimana meredakan berbagai isu yang sedang dan akan timbul setelah kematian Utsman bin Affan. Kebijakan-kebijakan Ali itu  antara lain mengganti Para Pejabat, Pembenahan Bait al-Mal dan Perpajakan, Pembenahan Administrasi kepegawaian, Pengadilan dan Militer, serta menghadapi Para Penantang. Yang terakhir ini dilakukan agar kekacauan politik dunia Islam stabil.
IV. Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi
Beberapa kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sedikitnya ada tiga kejadian yang menurut kami sangat penting untuk dibahas. Perang Jamal dan Perang Siffin serta pemberontakan khawarij.
IV. 1. Perang Jamal
Ketika Aisyah telah menunaikan umrah dan akan kembali ke Madinah, beliau menangguhkan kepulangannya setelah mendengar berita kematian khalifah Utsman. Terlebih Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah dibaiat menjadi khalifah pengganti Utsman.[7] Aisyah, yang dikenal mempunyai analisa yang tajam terhadap teks-teks keagamaan, menuntut hal yang sama seperti Muawiyyah, supaya Ali mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman.[8] Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu berada di Madinah, meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan umrah.[9] Data tersebut memberikan informasi pada kita, bahwa Thalhah bin Ubaidillah dan Zuber bin Awwam pada awalnya telah membaiat Ali bin Thalib sebagai khalifah. Dr. Hasan Ibrahim Hasan bahkan menyebut Thalhah bin Ubaidillah sebagai orang yang pertama kali membaiat Ali bin Abi Thalib.[10] Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah, kedua sahabat itu akhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar mengusut dan menghukum para pembunuh Utsman.
Informasi-informasi di atas juga memberi gambaran kepada kita, bahwa penentangan yang dilakukan oleh Muawiyyah, Aisyah, Thalhah dan Zubeir factor utamanya adalah penuntasan hokum qishah terhadap pembunuh Utsman. Ini penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi salah paham. Penentangan mereka bukan mempermasalahkan siapa yang sebenarnya dan seharusnya yang jadi khalifah pengganti Utsman, seperti yang diungkapkan oleh beberapa analis sejarah. Dalam salah satu bukunya, yang juga menjadi rujukan primer di UIN, Badri Yatim mengutip pendapat Ahmad Syalabi yang menyatakan bahwa Abdullah ibn Zubair adalah penyebab terjadinya pemberontakan terhadap Ali dan mempunyai ambisi besar untuk menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali.[11] Dengan redaksi yang kurang lebih sama, Harun Nasution juga menyatakan bahwa;
“Setelah Usman wafat, Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah.”[12]
Hal senada diungkapkan Hery Sucipto. Tanpa menyantumkan rujukannya, di dalam bukunya dia menyebutkan;
“Namun, tak berapa lama dari menunaikan rukun Islam kelima itu, dia  [Aisyah] mendengar dari salah seorang sahabat, bahwa khalifah Utsman meninggal dan kepemimpinan dipegang oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Hanya saja, baiat terhadap Ali ini membuat kecewa Aisyah, lantaran baginya yang berhak mengganti [khalifah Utsman] adalah kakak iparnya, Thalhah bin Ubaidillah.”[13]
Ensiklopedi Islam juga memuat informasi yang tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan para penulis di atas. Dalam Ensiklopedi itu dikutip sebuah pendapat yang menyebut bahwa pemberontakan itu dilatarbelakangi oleh keinginan Thalhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Kedua sahabat itu, menurut penulis Ensiklopedi Islam, masing-masing mengharapkan rakyat memilihnya menjadi khalifah.[14]
Hipotesa beberapa penulis di atas jauh berbeda dengan Asma' Muhammad Ziyadah. Seperti dinyatakan Asep Sobari Lc, Muhammad Ziyadah mengungkapkan dalam tesisnya, tidak ada riwayat shahih yang menyebut `Aisyah mencabut bai`atnya terhadap Ali.[15] Dasar gerakan `Aisyah adalah menuntut penghukuman orang-orang yang membunuh Utsman. Sementara Zubair dan Thalhah memiliki dasar pikiran yang sama sehingga mereka bergabung untuk mencari jalan keluar persolan ini, setelah empat bulan dari tragedi pembunuhan Usman.[16] Bagi mereka, persoalan qishash terhadap pembunuh Utsman harus segera diselesaikan, sebab khawatir kejadian serupa akan terulang kembali di masa yang akan dating. Jika para pembunuh Utsman itu dibiarkan berkeliaran bebas, maka upaya pembunuhan khususnya, atau lebih jauhnya lagi pemberontakan terhadap pemimpin (Imam) dimasa yang akan datang bisa sering terjadi.
Ada hal lain yang perlu juga untuk dibahas mengenai beberapa analisa yang diberikan oleh para pakar sejarah mengenai latar belakang penentangan Aisyah terhadap Ali. Sebagian ada yang menyebutkan bahwa Aisyah menolak baiat kepada Ali dikarenakan sentimen pribadi. Ahmad Syalabi misalnya, dalam bukunya dia menyatakan;
“Ada faktor lain yang lebih penting dari itu [tuntutan qishash], diantaranya; (1) Sejak dari dahulu telah ada ketegangan antara Ali dan Aisyah. Asiyah sendiri pernah berkata; sebenarnya demi Allah antara Ali dan saya tak ubahnya sebagai orang dengan mertuanya. Mungkin, ketegangan ini disebabkan oleh pendirian Ali memberatkan Aisyah dalam peristiwa hadits al-Ifki. (2) Ali pernah menyaingi Abu Bakar dalam pemilihan khalifah Abu Bakar…(3) Ada lagi faktor lain yang lebih penting, yaitu faktor Abdullah bin Zubeir, putera saudaranya yang perempuan yang bernama Asma bin Abi Bakar, dijadikan anak angkatnya, diasuh dan didiknya di rumanya sendiri…[17]
Memang ada beberapa hadits yang oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai bentuk rasa sentimen Aisyah terhadap Ali. Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan sebauh hadits yang menceritakan situasi Rasulullah saat sakit. Kala itu, Aisyah mengatakan Ibnu Abbas wa rajulun fulanun. Ibnu Abbas berkata kepada Ubaidillah, “Tahukah kamu siapa laki-laki yang bersamaku memapah Rasulullah? Itu adalah Ali, tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya”.[18]
Hadits lain yang juga sering dijadikan justifikasi untuk menunjukkan rasa sentimen Aisyah terhadap Ali adalah tatkala ada penghinaan terhadap Ali dan Ammar. Ketika itu, Aisyah berkata: “Aku tidak akan mengatakan apapun tentang Ali. Tetapi mengenai Ammar, sungguh aku mendengar Rasulullah bersabda; “Setiap kali dihadapkan kepada dua pilihan, pastia ia (Ammar) memilih yang paling bijaksana diantara keduanya”[19] Dalam hadits kedua ini, tekesan Aisyah hanya membela Ammar. Sementara terhadap Ali, seakan-akan dia tidak memperdulikannya (membelanya).
Mengapa Aisyah dalam dua hadits di atas terkesan bersikap buruk terhadap Ali. Ada yang mengatakan, sikap Aisyah tersebut merupakan buntut dari sikap Ali dalam masalah hadits al-Ifki. Ketika dimintai nasihat (pendapat) oleh Rasul tentang kejadian itu, Ali mengatakan; “Wahai Rasulullah, tidaklah Allah akan menyusahkanmu sedang wanita selain dia masih banyak. Dan tanyakanlah kepada Barirah mungkin ia dapat memberi keterangan yang jujur kepadamu”. Jawaban Ali kepada Rasulullah ini nampaknya melukai perasaan Aisyah. Seakan-akan Ali menyetujui isu yang sedang beredar ditengah masyarakat bahwa Aisyah telah meyeleweng dari Rasulullah saw. Atau paling tidak Ali tidak menunjukkan pembelaannya kepada Aisyah disaat mana posisinya beserta Rasulullah benar-benar tertekan dengan berita fitnah.[20]
Kata-kata Ali kepada Rasulullah mengenai penilaiannya atas Aisyah ini juga nampaknya diplintir kalangan penguasa Bani Umayah di kemudian hari sebagai alat propaganda dalam menjatuhkan kredibilitas dan aksebilitas Ali dikalangan para pegikutnya. Sebagaimana pengakuan imam Al Zuhri, tokoh hadits dari generasi tabi’in yang sangat terkemuka, bahwa ia pernah dibujuk oleh Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan untuk menyetujui bahwa Ali termasuk orang yang memfitnah Aisyah. Tetapi Al Zuhri dengan tegas menolak dan ia mengemukakan pengakuan Aisyah sendiri bahwa Ali tidaklah termasuk orang yang memfitnahnya yang dikecam Allah dalam Al Quran surat Annur ayat 11 sebagai “kelompok persekongkolan”, Ali hanyalah tidak memberi sikap pembelaan kepada Aisyah, bukan ikut memfitnahnya.[21]
Berkenaan dengan peristiwa dipapahnya Rasulullah ketika sakit menuju rumah Aisyah oleh Ibnu Abbas dan Ali dan keengganan Aisyah menyebutkan nama Ali dalam periwayatan hadits tersebut, diriwayatkan pula dalam Al Jâmiush Shahîh Al Bukhari (Kitab Al Wudhu’, no. hadits 191) tanpa ada tambahan perkataan Ibnu Abbas, “tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya”. Tambahan perkataan ini memang terasa bias dengan pesan bahwa Aisyah benci dan dendam terhadap Khalifah Ali. Oleh karena itu tambahan perkataan pada riwayat hadits di atas tidak diambil oleh Imam Al Bukhari dalam Shahîh-nya melainkan mencukupkan dengan kata-kata Ibnu Abbas, “Laki-laki yang seorang lagi itu adalah Ali”. Kemungkinan tambahan perkataan, “tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya (yakni kepada Ali)”, adalah dari periwayatan Ma’mar bin Râsyid, seorang rawi yang terdapat pada sanad Imam Ahmad dari Az Zuhry. Ibnu Hajar Al Asqalani mencurigai hadits Ma’mar yang diriwayatkannya di Bashrah.[i] Inilah sebabnya Imam Al Bukhari dalam kasus ini tidak mengambil jalur riwayat dari Ma’mar melainkan dari Syu’aib bin Abi Hamzah, orang yang paling kuat riwayatnya dari Az Zuhri.[22]
Adapun mengenai riwayat Imam Ahmad bahwa Aisyah membiarkan seseorang yang mencela Ali dan membela Amar, hadits inipun diragukan kesahihannya mengingat pada sanad tersebut ada rawi Habib bin Abi Tsabit yang meriwayatkan dari Atha’ bin Yasâr. Meskipun Habib dinilai tsiqat dan tsabit oleh sebagian ulama Ahlul Jarhi wat Ta’dîl, namun menurut Ibnu Huzaimah ia seorang mudallis. Menurut Ibnul Qaththan hadits Habib dari Atha’ tidak terpelihara. Dan menurut Al Uqaili haditsnya dari Atha’ bin Yasâr tidak ada mutâbi’nya. Jadi sikap Aisyah membiarkan Ali dicaci orang tidaklah ada landasannya yang kuat. Sedang mengenai hadits Amar sebagai orang yang suka memilih keputusan yang paling bijak, diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad pada Musnad-nya no. 4028 dengan sanad yang sahih dari Abdullah bin Mas’ud.[23]
Alasan lain yang yang sering disebut-sebut para peneliti sebagai penyebab retaknya hubungan Ali dengan Aisyah adalah bahwa Aisyah sangat cemburu kepada Khadijah, istri pertama Nabi yang telah wafat di Mekkah. Kecemburuan Aisyah ini karena Nabi sering menyebut dan memujinya dihadapan Aisyah. Karena itu Aisyah melampiaskan kecemburuannya kepada Fatimah, putri Nabi dari Khadijah yang sangat dicintainya. Ketika Ali menikah dengan Fatimah dan perhatian Rasul sangat besar kepada mereka berdua, kecemburuan Aisyahpun ditumpahkan kepada Fatimah dan Ali.[24]
Menurut Jeje Zaenudin, tuduhan bahwa Aisyah menyimpan dendam kesumat kepada Ali dan Fathimah atas dasar kecemburuannya kepada Khadijah.  adalah bualan-bualan kaum Syiah Rafidhah yang tidak berdasar. Pendek kata, tidak data yang akurat untuk djadikan alasan bahwa perselisihan Aisyah dengan Ali pada masalah tuntutan qishash atas pembunuhan Utsman dilatarbelakangi sentimen pribadi. Memang tidak dapat dipungkiri adanya berita-berita sejarah telah menceritakan adanya kerenggangan hubungan personal antara Ali dengan Aisyah jauh sebelum peristiwa terbunuhnya Utsman yang disebabkan perselisihan pendapat antara Abu Bakar dengan Fathimah putri Rasulullah mengenai tanah Fadak yang diwakafkan untuk kaum muslimin, dan mengenai saran Ali kepada Rasulullah ketika diminta pendapatnya tentang tuduhan orang kepada Aisyah pada peristiwa hadîtsul ifki. Mungkin saja kekurang harmonisan hubungan ini telah ikut mempengaruhi keberpihakkan Aisyah kepada kelompok oposisi. Tetapi untuk mengambil kesimpulan bahwa semata-mata sentimen pribadi di antara mereka itu merupakan alasan utama bagi Aisyah menentang Ali sungguh terlalu naif. Sebab tidaklah mungkin Aisyah dengan kedudukannya sebagai pribadi yang agung istri Nabi dan Ibu kaum mukminin akan menempuh cara tercela hanya karena sakit hati. Lagi pula tidak mungkin beliau mendapat dukungan yang cukup besar dari beberapa suku Arab jika tidak ada alasan logis yang lebih kuat dan lebih meyakinkan mereka dari sekedar memenuhi dendam kesumat pribadi yang tidak berdasar.[25]
Dengan demikian, penentangan Aisyah terhadap Ali adalah murni dari pemahaannya terhadap teks al-Quran yang mewajibkan hukum qishash bagi para pelaku pembunuhan. Bukan atas dasar sentimen pribadi terhadap Ali. Di sini juga perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa penentangan dari pihak Aisyah, termasuk di dalamnya Thalhah dan Zuber, murni karena menuntut pengusutan tuntas terhadap pelaku pembunuh Utsman. Bukti lain yang menguatkan statmen itu, dapat dilihat dari beberapa surat dan dialog antara Aisyah, Thalhah, Zuber dan Ali yang tidak pernah menyinggung masalah khalifah. Begitu juga dari berbagai pidato Aisyah dalam rangka mendapat dukungan maupun menjawab delegasi-delegasi Ali.[26]
Tentang penuntutan qishash itu, menurut Mahmud Abbas al-Aqqad, Ali sebenarnya paham dan memaklumi tuntutan para sahabat itu. Namun, saat itu Ali berada dalam posisi terjepit. Kesulitan yang dihadapi Ali itu disampaikan kepada rombongan delegasi para sahabat di Madinah. Saat itu, Ali mengatakan;
“Wahai saudaraku, tidaklah aku lalai dari apa yang kalian ketahui. Tetapi, apa yang dapat aku lakukan kepada satu kaum yang mereka menguasai kita dan kita tidak menguasai mereka. Telah memberontak bersama mereka budak-budak kalian dan orang-orang Badui memperkuat mereka semenatara mereka ada disela-sela kalian dapat menimpakan  keburukan atas kalian. Apakah kalian menemukan satu celah untuk kuasa bertindak sesuatu sebagaimana yang kalian inginkan.[27]
Jika informasi yang diberikan al-Aqqad di atas benar, dapatlah dimaklumi keputusan Ali untuk menangguhkan qishash.. Ali kelihatannya ingin membentuk kekuatan terlebih dahulu dari kalangan kaum muslim, terutama dari para pembesar sahabat. Jika itu sudah terbentuk, maka kekuatan hokum untuk mengusut tuntas siapa pembunuh khalifah Utsman akan dapat dilaksanakan dengan lancer. Bagi Ali, persoalan qishash baru dapat ditegakkan manakala situasi politik sudah tenang dan kaum muslimin sudah bersatu pada dalam satu pemerintahan yang kokoh. Kemudian ada pengaduan dan tuntutan dari pihak keluarga yang jadi ahli waris Utsman. Sebab, pembunuhan Khalifah Utsman bukanlah criminal biasa melainkan tragedy politik yang tidak terbayangkan sebelumnya. Lagi pula jumlah pembunuh Utsman yang sebenarnya belum diketahui secara pasati, sementara para pendukung yang terlibat di dalamnya dating dari berbagai kabilah dan suku yang berbeda.  Sangat rawan bagi Ali dan bagi keutuhan umat jika ia ceroboh menetapkan qishash kepada para tersangka tanpa menunggu situasi yang tepat. Karena bagaimanapun, fanatisme kelompok akan menjadi dasar bagi tiap kabilah untuk membela anggota kabilahnya yang dituntut hukuman qishash meskipun umpamanya terbukti benar-benar terlibat. Pada akhirnya penegakkan qishash itu malah akan menimbulkan peperangan baru antar kabilah dari keluarga penuntut dengan kabilah dari keluarga terdakwa.[28]
Karena perbedaan pandangan antara kedua kubu itu, maka peperanganpun tidak bisa dihindari. Perang pertama antara dua kubu muslim ini dikenal dengan sebutan Perang Jamal. Dikatakan Perang Jamal karena saat itu Aisyah menaiki unta ketika berperang. Perang ini memakan banyak korban. Ibnu Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu orang dari kedua belah pihak menjadi korban. Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah dan Zubeir yang oleh Rasulullah dijamin masuk surga, meninggal dunia.[29] Padahal saat itu, Thalhah dan Zubeir telah mengundurkan dari medan pertempuran dan menyesali sikapnya yang berlebihan dalam menentang Ali.[30] Perang itu sendiri dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali beserta pengikutnya kemudian mengurusi para korban dan menyolatkannya. Sikap Ali di atas menunjukkan bahwa peperangan itu bukanlah peperangan untuk menentukan siapa mukmin siapa kafir. Buktinya Ali menyolati para korban dari kedua pihak. Setelah mengurusi korban, menyolati dan menguburkannya, Ali memulangkan Aisyah ke Madinah dengan penuh penghormatan. Menurut Joesoef Souyb, sejak kejadian tersebut, Aisyah menghabiskan umurnya untuk beribadah dan mengajarkan hadits kepada para penuntut ilmu di Madinah. Ia menjauhkan diri dari hiruk pikuk percaturan politik yang terus bergejolak sampai akhir hayatnya.[31] Banyak merenung dan menyesali perbuatannya karena ikut terlibat dalam peperangan.
Perang antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Aisyah, Thalhah dan Zuberi merupakan fakta sejarah yang sudah terjadi. Namun demikian, perlu kita ketahui juga, apakah memang saat itu perang benar-benar merupakan solusi satu-satunya? Atau ada grand desaind dari pihak luar yang sengaja memperkeruh suasana yang mengakibatkan peperangan?
Analisa yang diberikan oleh beberapa ahli sejarah menyebut bahwa sebelum terjadi perang, Ali dan Aisyah melakukan dialog melalui surat-menyurat.untuk melakukan ishlah. Tepat pada hari kamis, pertengahan Jumadil Akhir tahun 36 H, Ali, Thalhah dan Zubeir melakukan negosiasi selama tiga hari untuk mencari jalan damai.  Upaya tersebut sebenarnya berhasil mencapai kesepakatan bahwa masing-masing mereka akan menahan diri dan menindak lanjuti upaya damai pada hari berikutnya.[32]
Pada saat itu, nampaknya Thalhah dan Zuber meminta Ali agar tidak melibatkan kelompok-kelompok yang menyerang Utsman bin Affan dan orang-orang yang terindikasi mendukungnya dalam pembicaraan damai. Karena menjelang hari perdamaian Ali menginstruksikan agar semua yang terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan Utsman baik itu yang dating dari Bashrah maupun Kuffah segera mengundurkan diri dan pulang ke kampong halaman masing-masing.
Instruksi Ali itu mengejutkan para pimpinan kelompok tersebut yang termasuk dari mereka orang-orang yang dekat dan kepercayaan Ali sendiri seperti al-Asytar al-Nakha’I dan Syuraih bin Aufa. Keduanya mengundang tokoh-tokoh pemberontak Utsman untuk bertemu dan membuat rencana untuk sebuah aksi yang patut diambil. Mereka sepakat bahwa rencana damai itu harus digagalkan.  Sebab, bila tidak maka merekalah yang akan menjadi korban perdamaian antara Ali dengan pihak Aisyah. Bukankah penentangan Aisyah, Thalhah dan Zuber kepada Ali dikarenakan Ali tidak segera menghukum qishash para pembunuh Utsman. Maka damianya pihak Ali dan Aisyah berarti kematian bagi mereka.[33] Sebagian ahli sejarah berkeyakinan bahwa orang-orang diatas adalah antek-antek Abdullah bin Saba. Mereka ini adalah profokator-profokator yang sengaja menyelendup baik ke pihak Ali maupun Aisyah.
Ali Audah memberi rincian kronologis penyerangan para perusuh dalam rangka menggagalkan upaya perdamaian antara pihak Ali dan Aisyah. Bahkan menurutnya, Aisyahlah yang ingin menyelesaikan persoalan antara Ali dengan pihaknya dengan cara perdamaian, bukan dengan kekerasan.[34] Posisi Aisyah saat itu adalah di Basrah. Dengan demikian, Aisyah saat itu menghadapi pemerintahan bentukan Ali yang ada di Basrah. Basrah saat itu dipimpin oleh gubernur Usman bin Hunaif.  Terjadi pertempuran terlebih dahulu antara pihak Aisyah dengan pihak Usman bin Hunaif. Karena Aisyah menginginkan perdamaian, akhirnya disepakati untuk gencatan senjata. Gencatan itu sendiri salah satu isinya adalah mengakui Usman bin Hunaif sebagai gubernur Basrah berikut bait al-Maal dan gudang senajatanya. Sementara bagi pihak Aisyah, mereka dibolehkan tinggal di mana saja di Basrah. Sambil menunggu Ali bin Abi Thalib. Saat itu, Basrah dan penduduknya dalam keadaan tenang, aktifitas pemerintahan dan praktek keagamaan dapat dilaksanakan seperti hari-hari biasa.[35]
Namun, seperti telah disinggung sebelumnya, ada pihak yang tidak senang dengan keadaan seperti itu. Ada pihak yang ingin berencana untuk mengacaukan keadaan. Kekacauan itu dilakukan oleh Hakim bin Jabalah, pengikut Ibnu Saba. Hakim bin Jabalah menculik Usman bin Hunaif selepas shalat Isya. Mereka juga menyerbu Bait al-Maal dan membunuh para penjaganya. Ketika hal tersebut diketahui, penduduk Basrah melakukan perlawanan dengan Hakim bin Jabalah. Orang ini kemudian mati bersama tujuh puluh pengikutnya dalam pertempuran dengan Thalhah dan rombongannya.[36]
Jika kita teliti secara cermat informasi yang diberikan Ali Audah ini semakin menguatkan sinyalemen bahwa terdapat scenario besar dibalik kegagalan perdamaian itu. Hakim bin Jabalah menculik Usman bin Hunaif, menyerbu bait al-Maal dan para penjaganya, yang semuanya itu merupakan asset pemerintahan Ali bin Thalib. Namun, Hakim bin Jabalah mati di tangan Thalhah dan kelompoknya. Menurut kami, hal ini menunjukkan bahwa Hakim bin Jabalah, pengikut Ibnu Saba itu, melakukan profokator, mengadu domba pihak Ali dengan cara menculik dan membunuh Usman bin Hunaif. Tentu saat itu, pihak Ali mempunyai firasat bahwa pelaku penculikan itu adalah pihak Aisyah. Di sisi lain, Hakim bin Jabalah juga melakukan pertempuran dengan pihak Thalhah. Bagi Thalhah yang saat itu memang sedang dalam keadaan gencatan senjata, kemungkinan besar juga berpikir bahwa pihak Ali telah melakukan pengkhianatan, melakukan penyerangan dengan tiba-tiba untuk menumpas kelompoknya. Walhasil, kecurigaan dan akhirnya peperangan antara kedua kubu tidak bisa dihindari.
IV. 2. Perang Siffin
Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya, Nailah, istri Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi korban kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus dengan tebusan pedang mereka, segera menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang bukti berupa pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah yang terpotong.[37] Barang bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid Jami Syria. Para penduduk yang memang sangat menghormati Utsman terharu melihat barang bukti itu, dan menuntut agar para pelaku pembunuhan dihukum qishash. Keadaan semakin memanas, tatkala dating utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat) terhadap Ali. Ditambah lagi, keputusan Ali memecat Muawiyyah. Karenanya, kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan –bukan menolak- pembaiatan terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas. Menurut Ali Audah, ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali bin Abi Thalib. Pertama, bagi Muawiyyah, tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu ditangkap dihukum. Kedua, tak ada suara bulat dari kalangan terkemuka muslim (para sahabat senior). Saat itu Muawiyyah berargumen, bahwa sikapnya yang menolak untuk membaiat Ali tidak berarti dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya, lebih-lebih karena tak ada suara bulat dari kalangan untuk membaiatnya.[38]
Telah disinggung sebelumnya, bagaimana dan mengapa Ali menangguhkan qishash terhadap pelaku pembunuh Utsman. Namun, mengapa pihak Muawiyyah masih saja terus menuntut Ali untuk melakukannya, dan tidak mau membaiatnya sebelum urusan pembunuhan Usman dituntaskan. Ada dugaan saat itu bahwa Ali berada di belakang para pemberontak yang membunuh Utsman. Apalagi adanya sikap Ali yang menangguhkan pengusutan pembunuhan Utsman dan penegakkan hukuman qishash. Ini semakin memperkuat dugaan Muawiyyah bahwa memang Ali bersekutu dengan para pemberontak.[39]
Dengan mengutip pakar sejarah Islam klasik, al-Thabari, Harun Nasution mencatat bahwa salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir, yang dating ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibn Abi Bakar, anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali saat itu tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad bin Abi Bakar diangkat menjadi Gubernur Mesir.[40]
Memang, Muhammad bin Abi Bakar adalah pemuka rombongan penentang dari Mesir. Atas beberapa kebijakan Utsman yang tidak disetujui penduduk Mesir, salah satunya mengangkat  Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, saudara sepersusuan Utsman, sebagai gubernur Mesir, maka Muhammad bin Abi Bakar beserta yang lainnya pergi ke Madinah untuk mengadu kepada khalifah Utsman. Saat terdesak oleh para demonstran, Utsman meminta bantuan Ali agar situasi bisa teratasi. Ali waktu itu menenangkan dan meyakinkan para demonstran bahwa khalifah Utsman akan mengabulkan tuntutan mereka selain meletakkan jabatan khalifah. Tuntutan delegasi Mesir agar mencopot jabatan Gubernur dari Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah dikabulkan. Saudara sepersusuan Utsman ini diganti oleh Muhammad bin Abi Bakar. Karena tuntutannya telah dikabulkan, Muhammad bin Abi Bakar dan kelompoknya meninggalkan Madinah. Namun, saat perjalanan pulang ke Mesir, Muhammad bin Abi Bakar mendapatkan surat yang –katanya- dibawa oleh seorang budak Utsman. Surat tersebut memang memuat stempel Utsman. Isi surat tersebut adalah perintah untuk membunuh para penentang dari Mesir yang dipimpin oleh Muhammad bin Abi Bakar. Melihat isi surat tersebut Muhammad bin Abi Bakar yang menjadi salah satu target pembunuhan, kesal. Para penentang pun kembali ke Madinah menuntut Utsman untuk mengundurkan diri. Saat itulah Utsman terbunuh.[41] Mungkin karena Muhammad bin Abi Bakar adalah ketua rombongan dari Mesir, dan termasuk salah seorang yang masuk ke rumah Utsman, maka dia menjadi salah satu tersangka.
Tetapi, Nailah, istri Utsman, yang menjadi saksi pembunuhan Utsman, ketika ditanya Ali bin Abi Thalib “siapa pembunuh Utsman”? Nailah menjawab: “Saya tidak tahu, tetapi banyak orang yang masuk, wajah-wajah yang tidak saya kenal. Muhammad bin Abi Bakar juga hadir”. Di sumber lain, Nailah hanya menyebut nama Muhammad bin Abi Bakar, tetapi, kata Nailah, “dia sudah keluar meninggalkan rumah itu sebelum terjadi pembunuhan”. Saat itu pula Ali langsung bertanya kepada Muhammad bin Abi Bakar untuk menguatkan kesaksian Nailah. Muhmmad bin Abi Bakar membenarkan statement Nailah. Kata Muhammad bin Abi Bakar; “Saya memang ikut masuk dan setelah ia [Utsman] mengingatkan saya kepada ayah[42] [Abu Bakar], saya meninggalkan dia. Saya sudah bertaubat kepada Allah. Demi Allah saya tidak membunuhnya, juga saya tidak mencegah mereka yang akan membunuhnya.[43]
Kesaksian Nailah di atas sebenarnya sudah menjadi bukti, bahwa tuduhan bahwa Muhammad bin Abi Bakar adalah pembunuh Utsman tidaklah kuat. Dengan demikian, sikap Ali yang tidak menindak tegas Muhammad bin Abi Bakar dan malah mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, seperti yang diungkapkan Harun Nasution, seharusnya tidak menjadikan Muawiyah untuk kemudian tidak mau membaiat Ali dan menentang Ali. Tindakan Ali saat itu tidaklah salah. Akan tetapi, melihat begitu kacaunya situasi politik saat itu, yang memungkinkan mudahnya para perusuh mengadu domba dan memperkeruh keadaan, sangat wajar jika Muawiyah mempunyai sikap tegas untuk menolak memberi baiat sebelum Ali menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman. Jika Ali sudah mengusut tuntas masalah pembunuhan Utsman, mungkin Muawiyah merasa yakin bahwa Ali tidak ada sangkut pautnya dengan kasus itu. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Akibat dari perbedaan pandangan (ijtihad) inilah, baik pihak Ali maupun Muawiyah selalu bersi tegang.
Ali sendiri ketika menghadapi penentangan Muawiyah telah melakukan berbagai cara. Ali selalu mengirim surat dan delegasi untuk mengajak islah, mengajak Muawiyah memberi baiat terhadapnya. Namun, usahanya tersebut selalu menemui jalan buntu. Bahkan, pernah satu ketika Muawiyah membalas surat kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah. Tak hanya itu, surat yang bersegel “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib” tanpa menyebut gelar Amirul Mukminin.[44]
Surat tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi, negosiasi dan rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil kemungkinan berhasil. Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan tindakan kepada Muawiyyah. Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih dahulu meminta persetujuan dari para sahabat yang ada di Madinah waktu itu.  Sikap sahabat pun terbagi tiga kelompok; ada yang antusias mendukung Ali, seperti Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah. Ada juga yang tidak setuju dan menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan terlebih dahulu. Ada yang bersikap diam dan memilih menyingkir dari rencana ini seperti Saad bin Abi Waqqas, Suhaib bin Sinan, Muhammad bin Maslamah dan Abdullah bin Umar.[45] Ibnu Abbas dan Mughirah bin Syu’bah tatkala itu bahkan menyarankan agar Ali tidak tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah pada jabatannya untuk beberapa lama sehingga suhu politik mereda terlebih dahulu. Namun saran dari kedua sahabat dekatnya itu, dirasa kurang tepat. Justru jika Muawiyah terus dibiarkan memimpin, dia khawatir kelompok opisisi di Syiria akan semakin banyak dan kuat karena pengaruh Muawiyah.[46]
Singkatnya, peperangan antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam waktu yang tidak lama lagi akan terjadi. Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali memutuskan untuk bergerak menuju Syam dengan kekuatan pasukan sekitar seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Rencana Ali itu sampai pada Muawiyah, dan segera setelah itu Muawiyah pun menyiapkan pasukan dengan kekuatan sembilan puluh ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya bertemu di Shiffin, suatu tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria. Perang pun terjadi.  Kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah tahun 36 H. Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan Muharram awal tahun 37 H. Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar dengan sangat hebatnya kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiri pertempuran yang sudah sangat melelahkan itu. Sejak pertempuran pertama kali terjadi, korban meninggal dari dua pihak diprerkirakan tujuh puluh ribu orang. Sedang luka korban fisik tidak terhitung.[47]
Pada minggu kedua dari bulan Safar, pasukan Muawiyah mulai terdesak, sementara pasukan Ali berada di atas angina. Muawiyah yang sudah berpengalaman dalam bidang politik dan peperangan, akhirnya menyuruh beberapa pasukannya untuk mengangkat Mushap al-Quran sebagai isyarat untuk menghentikan pertempuran. Melihat itu, kubu Ali terbagi kepada dua bagian. Ada yang menyarankan Ali untuk tidak menerima penghentian pertempuran sebelum ada pihak yang kalah dan menang. Ada juga yang menyuruh Ali untuk menerimanya.
Menarik untuk dibahas tentang kedua kubu Ali yang berbeda pendapat ini. Ada pendapat, dan ini kebanyakan yang diambil, bahwa Ali saat itu sebenarnya tidak mau menerima strategi Muawiyah untuk menghentikan pertempuran, namun beberapa orang komandan perang seperti seperti Asy’ats bin Qais al-Tamimy, Mis’ar bin Fadaky al-Tamimy dan Zaid bin Hishn al-Thaiy, yang nantinya justru malah menentang Ali bahkan mengkafirkannya (khawarij), menyuruh Ali untuk menerima ajakan Muawiyah. Pendapat lain justru sebaliknya. Justru Ali sendiri yang saat itu mempunyai ide untuk menerima ajakan Muawiyah, sebab dalam al-Quran terdapat perintah untuk melakukan islah jika terjadi pertentangan. Karenanya, Ali menjadi bahan bulan-bulanan khawarij karena telah menerima ajakan Muawiyah. Menurut Amhazum, pendapat yang kedualah yang benar mengingat peristiwa-peristiwa setelah itu, Ali dan beberapa sahabat dekatnya seperti Ibnu Abbas, Sahl bin Hunaef dan Hasan putra Ali, beberapa kali membela diri dari hujatan pihak Khawarij yang mengecam Ali karena menerima tahkim.[48] Kemungkinan cerita-cerita yang menyudutkan khawarij itu sengaja diputar balikan karena ingin mensucikan Ali  dan menimpakan keburukan terhadap pihak khawarij. Sebab, perdebatan-perdebatan Ali dengan khawarij justru memperkuat bukti bahwa memang Ali sendiri yang berinisiatif menerima ajakan damai dari pihak Muawiyah.[49]
Meskipun di kubu Ali waktu itu terbagi kepada dua suara, namun akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri pertempuran dan melakukan perundingan damai (tahkim). Perundingan tersebut dilakukan dengan cara masing-masing kubu mengirim delegasinya sebagai juru rundingnya. Pihak Muawiyah menunjuk Amr bin Ash. Sedangkan pihak Ali menunjuk Abu Musa al-Asy’ari.[50] Perundingan tersebut rencananya akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan di tempat Adzrah, daerah Daumatul Jundal yang menjadi wilayah perbatasan Irak dan Syam.[51]
Banyak riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab tarikh bahwa Abu Musa dan Amr saat itu sepakat melepaskan jabatan khilafah dari Ali maupun dari Muawiyah dan mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin. Tetapi saat pembacaan keputusan Amr yang berbicara belakangan menghianati kesepakatan dengan menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah karena Ali telah diberhentikan oleh Abu Musa. Maka terjadilah kekacauan di arena persidangan. Abu Musa mengecam Amr yang telah khianat sebagai anjing yang menjulurkan lidahnya. Amr balik menghina Abu Musa dengan menyindirnya sebagai keledai yang memikul kitab. Gagallah misi perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke Mekah karena malu kepada Ali. Sementara Amr bergabung dengan Muawiyah dan mendapat kedudukan yang terhormat di hadapannya.[52]
IV. 2. Gerakan kaum Khawarij
Setelah proses tahkim berakhir dan kemengangan berada di pihak Muawiyah, kelompok Ali terbelah menjadi dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai khawarij. Kelompok ini merasa kecewa dengan keputusan Ali yang menerima tahkim.
Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12 000 orang pulang menuju Kuffah. Mereka membuat markas militer tersendiri di Harura. Mereka mengecam Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta syirik karena menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Padahal menurut mereka hukum itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa perkara yang terjadi antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.[53]
Ketika Ali sedang berkhutbah Jumah, sebagian orang Khawarij meneriakinya denga kata-kata, “tidak ada hukum selain milik Allah”. Ali mengancam mereka, “Aku tidak melarang kalian datang ke mesjid kami dan kami tidak akan menindak kalian selama kelian tidak berbuat terlebih dahulu memerangi kami”. Tetapi mereka semakin agresif menyudutkan Ali dan mengkampanyekan pahamnya dengan slogan, “hukum itu hanya milik Allah.”[54]
Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim itu secara fair dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas ditugaskan mendebat kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali bergabung dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka dan bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi sebagin dari mereka  tetap bersikukuh pada pendiriannya dan membentuk keimaman sendiri. Abdullah bin Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali terpaksa menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan pedang setelah nyata kepadanya bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan kompromi. Terlebih lagi setelah terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun baru dengan membunuh siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga putra seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil menjadi korban pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada perang Nahrawan dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij tidak mebuat mereka surut. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada mereka terus melakukan serangan kepada kelompoak Ali maupun Muawiyah. Hingga akhirnya Ali tewas ditangan salah seorang Khawarij yang amat militan, Abdurahman bin Mulzam.[55]
Ada tiga hal mendasar sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari pasukan Ali dan kemudian menjadi musuhnya yang sangat militan: Pertama, mereka menuduh Khalifah Ali telah mengkhianati dirinya sendiri beserta semua kaum Muslimin yang telah mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena Ali telah menerima keberatan pihak Muawiyah untuk tidak menggunakan gelar “Amir al Mukimin” di belakang namanya ketika menandatangani naskah perjanjian damai. Dengan demikian Ali dipandang mengadakan perjanjian dengan pihak Muawiyah atas nama dirinya sendiri, Ali putra Abu Thalib. Kedua, Ali divonis telah berbuat syirik karena menyekutukan Allah dalam masalah hukum. Sebab ia menyerahkan keputusan politiknya dalam persengketaannya dengan Muawiyah kepada delegasi dari kedua belah pihak. Padahal keputusan hukum itu hanya milik Allah bukan milik manusia. Sedang Muawiyah jelas sebagai pembangkang yang harus diperangi bukan diajak berdamai. Untuk tuduhan ini kaum Khawarij berargumen dengan ayat, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”. Ketiga, Khalifah Ali dituduh telah berbuat dosa besar dengan membunuh puluhan ribu jiwa yang tidak berdosa. Yaitu ketika Ali memerangi pengikut Aisyah pada perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal memerangi mereka, mengapa ia mengharamkan harta rampasannya serta menawan anak-anak dan istri-istri mereka. Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar karena telah menghalalkan darah pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta bendanya.
Ali mengutus Ibnu Abbas untuk mendebat kesesatan Kaum Khawarij, di samping ia sendiri terjun ke tengah-tengah mereka dan menyeru mereka agar kembali ke jalan yang benar. Terhadap tuduhan-tuduhan mereka, Ali dan Ibnu Abbas menjawab dengan beberapa argumen:
Pertama, tuduhan bahwa Ali mencopot diri dari kedudukannya sebagai Imam kaum Muslimin karena menerima naskah perjanjian dengan tanpa mencantumkan atribut “Ali Imam kaum Muslimin” suatu yang tidak beralasan. Karena nama Ali tanpa kata “Imam kaum Muslimin” tidak akan merubah kedudukannya sebagai Khalifah, pemimpin orang beriman. Lagi pula ada dalil yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika beliau mengadakan perjanjian damai dengan kaum Musyrik Mekah, Nabi bersedia memenuhi permintaan kaum Musyrik agar nama beliau tidak pakai embel-embel “Rasul Allah” dalam naskah perjanjian. Saat itu Ali yang jadi juru tulis Nabi menolak keras menghapus kata “Rasul Allah” dari belakang nama Muhammad. Sehingga Nabi sendiri yang menghapusnya serta memaksa Ali agar menuliskan kata “Muhammad putra Abdullah” sebagai ganti “Muhammad Rasul Allah”. Kemudian Ali membaca ayat, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.[56]
Kedua, tuduhan bahwa Ali telah menyekutukan Allah dibidang hukum karena menyerahkan hukum kepada para delegasi untuk bermusyawarah dan mencari solusi persoalan dirinya dengan Muawiyah adalah tuduhan yang salah kaprah. Hukum Allah tidak akan bertindak dengan sendirinya, melainkan harus ada orang yang menegakkannya. Dalam hal ini Ali meminta kedua utusan, yaitu Abu Musa dari pihaknya dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah, agar bermusyawarah  dan mencari keputusan hukum berdasar Kitab Allah dan Sunnah Nabi. Bukan hukum yang dilahirkan semata-mata dari akal fikiran mereka berdua. Kemudian Ali beranalogi dengan kasus penetapan hukum oleh wakil-wakil keluarga yang bertengkar yang justru diperintahkan Al Quran.[57] Jika dua orang suami istri saja yang bertengkar dalam urusan rumah tangga yang sepele Allah perintahkan agar masing-masing mengutus juru runding untuk mencari penyelesaian perkara yang diperselisihkan keduanya, maka lebih-lebih lagi jika yang dipertengkarkan itu menyangkut darah dan kehormatan umat Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, atas tuduhan bahwa Ali bersikap ambigu dalam kasus harta rampasan dan tawanan perang Jamal, dengan menghalalkan darahnya tapi mengharamkan harta bendanya, Khalifah Ali menjawab singkat, “Di antara tawanan perang itu ada ibu kaum mukmin (maksudnya Siti Aisyah). Kalau kalian mengatakan bahwa ia bukan lagi ibu kalian, berarti kalian telah kafir, dan jika kalian menghalalkan menawan ibu kalian berarti kalian telah kafir juga”.[58]
V. Kesimpulan dan Penutup
Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan Zuber ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun Zuber tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Sikap yang sama juga harus kita berikan terhadap Muawiyah.
Mereka semua tidak pernah mengkafirkan antara sesama. Mereka hanya berbeda dalam cara menempuh menegakkan kebenaran. Maka kita juga tidak mengkafirkan seperti yang dilakukan khawarij. Kita juga mengakui ashab al-Nabiy kulluhum uduul. Sedangkan sikap kita terhadap khawarij (nenek moyang wahabi), meskipun argumen Khawarij tegas mengacu kepada nash Al Quran, tetapi mengarahkan makna ayat tersebut kepada kasus Tahkim Ali dan Muawiyah adalah interpretasi mereka yang sangat dangkal. Langkah kaum Khawarij yang menyeret tindakkan para pelaku konflik politik ke dalam paradigma teologis yang kaku dan ekstrim, sehingga menyebabkan mereka dengan sewenang-wenang menilai dan menetapkan hukum kafir atau muslim kepada siapa yang mereka kehendaki, menjadi salah satu faktor penyebab munculnya pemikiran teologi tandingan seperti Syiah yang mengkafirkan semua lawan politik Ali. Dan pada gilirannya melahirkan pemikiran “poros tengah” yang menolak menetapkan hukum atau status kafir terhadap seseorang yang telah menyatakan dirinya muslim hanya karena tindakkan-tindakkan politiknya. Bagi mereka, semua status keimanan seseorang diserahkan kepada Allah saja, sebab manusia hanya bisa menilai seseorang dari perbuatan lahiriyahnya saja, sementara hakikat iman ada pada hati dan niyat tindakan para pelaku itu sendiri.
Terakhir, konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita. Namun bagaimana seharusnya kita menyikapinya secara positif  agar tidak menimpa kita. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Daftar Pustaka
  1. Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, Terj. H.A. Bahauddin, (Kalam Mulia, Jakarta: 2006), cet. 2.
  1. George Jordac, Suara Keadilan; Sosok Ali bin Abi Thalib, , terj. Muhammad al-Sajjad, (Lentera, Jakarta: 1996)
  2. Jeje Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama.
  3. Abu al-Fida Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Mariifah: 1999), cet ke-5, Jilid IV.
  4. DR. Badri Yatim MA., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007)
  5. Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002)
  6. Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi, (Mizan: Bandung: 2006)
  7. Ensiklopedi Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1993
  8. Prof. Dr. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000)
  9. Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka Azzam, Jakarta: 2002)
  10. Joeseof Sou’yb, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986)
  11. Prof. Dr. Muhammad Amhazun, Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat; Analisa Historis dalam Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary, terj. Dr. Daud Rasyid (LP2SI al-Haramain, Jakarta: 1994)

[1]Terutama buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Badri Yatim, MA berjudul “Sejarah Peradaban Islam” yang telah menjadi buku pegangan bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Islam.
[2] Lihat George Jordac, Suara Keadilan; Sosok Ali bin Abi Thalib, , terj. Muhammad al-Sajjad, (Lentera, Jakarta: 1996)
[3] Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, hal. 166, sebagaimana dikutip dari buku “Akar Konflik Umat Islam”, oleh Jeje Zainudin Abu Himam, hal. 66.
[4] Ibid, hal. 68.
[5] Ibid, hal. 74
[6] lihat Abu al-Fida Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Mariifah: 1999), cet ke-5, Jilid IV, hal. 248.
[7] Sahabat yang memberi tahu kepada Aisyah tentang terbunuhnya Utsman dan dibaiatnya Ali adalah Ubaidillah bin Salamah al-Laisi. (Ensiklopedi Islam, Jilid I, hal. 94)
[8] Jeje Zainudin, Op,Cit, hal. 90
[9] Ali Audah, Op,Cit, hal. 205
[10] Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, Terj. H.A. Bahauddin, (Kalam Mulia, Jakarta: 2006), cet. 2, hal. 508
[11] DR. Badri Yatim MA., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hal. 39.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002), Edisi 2, Cet. I, hal. 6
[13] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi, (Mizan: Bandung: 2006), cet. Ke-2, hal. 18
[14] Ensiklopedi Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1993, hal. 113
[15] Asma' Muhammad Ziyadah, ibid, hlm. 424.
[16] Ibid, mengutip dari Tarikh al-Thabari, vol. 4 hlm. 449 dan 437.
[17] Prof. Dr. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000), cet. 4, hal. 288
[18] Hadits riwayat Imam Ahmad. CD Hadits Mausu’ah al Hadits al Syarief, (Cairo: Sakh Software, 1996),  nomor hadits 22932
[19] Riwayat Imam Ahmad, no. 23676
[20] Jeje Zaenudin, Op,Cit, hal. 110
[21] ibid
[22] ibid, hal. 112
[23] Ibid, hal. 112-13
[24] George Jordac, Op,Cit, hal. 373
[25] Jeje Zaenudin, Op,Cit, hal. 113
[26] ibid, hal. 119-120
[27] Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka Azzam, Jakarta: 2002), cet. I, hal. 146
[28] Jeje Zaenudin, Op,Cit, hal. 121
[29] Ibnu Katsir, Op,Cit, hal. 254
[30] Untuk mengetahui secara detail kronologis Perang Jamal dan penyesalan Thalhah dan Zubeir, lihat Ali Audah, Op,Cit, hal. 231-236
[31] Joeseof Sou’yb, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986), hal. 479
[32] Dikutip dari Tarikh Thabari oleh Jeje Zainudin, Op,Cit, hal. 95
[33] Ibnu Katsir, Op,Cit, hal. 2550
[34] Ali Audah, Op,Cit, hal. 225
[35] ibid
[36] ibid, hal. 226
[37] Utusan yang membawa surat tersebut adalah Sahabat Nabi bernama Nukman bin Basyir. Lihat Jeze Zaenudin, Op,Cit, hal. 98
[38] Alasan kedua yang dikemukakan oleh Muawiyyah tidaklah tepat. Ali Audah bahkan menyebut alas an itu terkesan mengada-ada. Sebab, yang tidak membaiat Ali saat itu hanya beberapa orang. Dan itu pun bersikap netral dan tidak menentang kekhalifahan.  Alas an pertama juga dalam pandangan Ali Audah agak rancu. Jika memang alas an tersebut menjadi dasar penentangan Muawiyah terhadap Ali tentunya saat Muawiyyah menjadi pemimpin Negara, kasus seharusnya Muawiyah mengusut siapa kasus terbunuhnya Utsman. Akan tetapi, Muawwiyah  tidak pernah melakukannya. Lihat Ali Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai Kepada Hasan dan Husain, Amanat Perdamaian, Keadilan dan Persatuan, Peranannya Sebagai Pribadi dan Khalifah, (Litera AntarNusa, Jakarta: 2007), cet. Ke-3, hal. 204.
[39] Harun Nasution, Op,Cit, hal. 7
[40] Ibid
[41] Joesef Soy’b, Op,Cit, hal. 444-454
[42] Perkataan Utsman kepada Muhammad bin Abi Bakar kala itu adalah; “Kemenakanku, sekiranya ayahmu masih hidup, kau tidak akan memperlakukan aku seperti ini.”
[43] Ali Audah, Op,Cit, hal. 216
[44] Ibid,, hal. 204
[45] dikutip dari Thabari oleh Jeje Zaenudin, Op,Cit, hal.91
[46] Abbas Mahmud al-Aqqad, Op,Cit, hal. 70
[47] Jeje Zaenudin, Op, Cit, hal. 100-101
[48] Prof. Dr. Muhammad Amhazun, Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat; Analisa Historis dalam Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary, terj. Dr. Daud Rasyid (LP2SI al-Haramain, Jakarta: 1994), cet. I, hal. 474
[49] ibid, hal. 483
[50]Mengenai penunjukkan Abu Musa Al Asy’ary sebagai juru runding pihak Ali.  Satu versi riwayat menuturkan bahwa Asy’ats bin Qais dan penduduk Yaman yang mengusulkan agar Abu Musa menjadi juru runding dari pihak Ali. Sedang Ali sendiri ingin mengutus Ibnu Abbas atau Al Asytar. Versi lain menuturkan bahwa Abu Musa adalah pilihan Ali sendiri karena ia adalah orang yang benar-benar netral serta menjauhkan diri dari kedua kubu yang berseteru. Jika mengingat kedudukan Abu Musa sebagai salah seorang sahabat Nabi yang terhormat dan Nabi sendiri memberi kepercayaan menjadi utusannya ke Yaman bersama Muadz bin Jabal dan Ali, demikian pula kepercayaan Utsman kepadanya dengan mengangkatnya sebagai gubernur Irak adalah pantas jika Ali sendiri yang memilihnya. Lagi pula Asy’asy dikemudian hari menjadi tokoh Khawarij yang amat menentang adanya tahkim antara Ali dengan Muawiyah, sangat kecil kemungkinan ia ikut menunjuk juru bicara. (Jeje Zaenudin, Op,Cit, hal. 103)
[51] Jeje Zaenudin, Op,Cit, hal. 101
[52] ibid, hal. 104. kalau kita perhatikan, pemaparan para ahli sejarah tentang perundingan antara Abu Musa dan Amr bin Ash adalah masalah kekhalifahan.  Peneliti Muhibbuddin Al Khathib meragukan materi tahkim seperti itu. Sebab tidak ada kewenangan kedua utusan itu untuk menghentikan Ali dari kekhalifahan yang sudah dibaiat oleh musyawarah pembesar sahabat di Madinah. Sedang Muawiyah sendiri tidak berkedudukan sebagai Khalifah sehingga tidak patut dan tidak perlu diturunkan. Kalaupun ia masih berkuasa di Syam itu adalah kekuasaan yang bersifat de facto sebab secara de jure ia telah berakhir dengan berakhirnya pemerintahan Utsman yang mengangkatnya dulu dan Ali sendiri dalam kapasitas sebagai Khalifah telah memecatnya dari jabatannya. Maka yang logis, materi perundingan semestinya tidak keluar dari pemecahan masalah yang disengketakan ini. Maka cukup mengherankan jika materi tahkim bergeser menjadi pembicaraan sekitar masalah keabsahan kekhalifahan Ali. Ini sebenarnya tidak menutup kemungkinan bahwa memang terjadi penyimpangan materi tahkim dari persoalan semula menjadi persoalan ke absahan kekhalifahan Ali. Sebagaimana tercatat pula keberatan atau penolakkan pihak Muawiyah dan penduduk Syam atas naskah perjanjian yang mencantumkan kata “Amirul Mukminin” (pemimpin kaum mukmin) dibelakang nama Ali pada hari kesepakatan 13 Shafar. Mereka meminta kata-kata itu dihapus dan diganti dengan kata, “Ali putra Abi Thalib” untuk mensejajarkan dengan “Muawiyah putra Abu Sofyan”
[53] Harun Nasution, Op,Cit, hal. 8 dan 13
[54] Jeje Zaenudin, Op.Cit, hal. 107
[55] ibid, hal. 108
[56] Qs. Al-Ahzab: 21
[57] lihat Qs. Al-Nisa: 35
[58] Jeze Zaenudin, Op,Cit, hal. 142-144

Semoga bermanfaat

No comments:

Post a Comment