PERASAAN SAHABAT DENGAN WAFATNYA RASULULLAH SAW
Beliau shallallahu 'alaihi wasallam telah menunjukkan kepada kita sebab-sebab untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan, di samping mengingatkan kita dari semua jalan yang mengantarkan kepada keburukan dan kerugian di dunia dan akherat. Siapakah di antara kekasih, kerabat atau sahabat kita yang dapat memberikan ini semua?
Ingatlah semua ini agar engkau dapat merasakan musibah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Bagaimana seandainya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menganugerahkan kepada kita petunjuk dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam?
Bagaimana seandainya engkau masuk Nerkaka? Bagaimana seandainya engkau diharamkan masuk Surga?
Bagaiman sendainya engkau disiksa di alam kubur?
Siapa yang dapat memberi manfaat kepadamu?
Siapa yang dapat menolongmu dari semua itu?
Adapun perasaan sedih para Sahabat radhiyallahu'anhum atas wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah perkara yang lain lagi. Dari Salim bin ‘Ubaid radhiyallahu 'anhu berkata:”Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah pingsan ketika sakit. Setelah siuman beliau bertanya:’Apakah waktu shalat telah tiba?’ Para Sahabat menjawab:’Ya.’ Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:’Perintahkan kepada Bilal agar dia mengumandangkan adzan, dan perintahkan kepada Abu Bakar agar ia mengimami shalat’, -atau beliau bersabda:’Agar ia menjadi imam shalat bagi kaum Muslimin.’”
Salim bin ‘Ubaid melanjutkan:”Kemudian beliau kembali pingsan. Setelah siumanlagi, beliau bertanya: ’Apakah waktu shalat telah tiba?’ Para Sahabat menjawab:’Ya.’ Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:’Perintahkan kepada Bilal agar dia mengumandangkan adzan, dan perintahkan kepada Abu Bakar agar ia mengimami shalat.’ ‘Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:’Sesungguhnya ayahku adalah seorang ’Asiif (yaitu mudah menangis dan merasa sedih. Adapula yang berpendapat lembut hatinya yaitu mudah menangis). Apabila ia melakukan apa yang engkau perintahkan itu, niscaya ia akan menangis dan tidak bisa melanjutkannya. Seandainay engkau perintahkan kepada yang lainnya (tentu hal itu lebih baik)?’”
Salim bin ‘Ubaid radhiyallahu 'anhu melanjutkan:” Kemudian beliau pingsan lagi. Setelah siuman, beliau bersabda:’Perintahkan kepada Bilal agar dia mengumandangkan adzan, dan perintahkan kepada Abu Bakar agar ia mengimami shalat. Sesungguhnya kalian (para wanita) sperti kaum wanita Nabi Yusuf 'alaihissalam!” (maksudnya mereka sperti kaum wanita Nabi Yusuf dalam hal tidak menampakkan scara lahiriyah apa yang sebenarnya ada pada hati mereka(Fathul Bari) ‘Aisyah radhiyallahu 'anha mengatakan demikian supaya orang-orang tidak memberikan penilaian negatif terhadap ayahnya radhiyallahu 'anhu. Makna ini tertera dalam shahih Bukhari dan Muslim)
Salim bin’Ubadah radhiyallahu 'anhu melanjutkan:’Lalu Bilal radhiyallahu 'anhu diperintahkan untuk adzan dan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu diperintahkan untuk mengimami shalat kaum Muslimin. Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam merasakan kondisinya agak membaik. Beliau bersabda:’Carilah orang yang akan memapahku’ Maka datanglah Burairah radhiyallahu 'anhu dan dan seorang laki-laki lainnya (Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan mengenai riwayat yang ada dalam kitab ash-Shahihaiin:”Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar (dipapah) di antara al-Abbas radhiyallahu 'anhu dan seorang laki-laki lain,” yaitu ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa ia adalah al-‘Abbas radhiyallahu 'anhu bersama anaknya al-Fadhl radhiyallahu 'anhu . Pemahaman terhadap riwayat-riwayat tersebut dapat diselaraskan dengan mengatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar rumah beberapa kali).
Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dipapah oleh keduanya menuju masjid. Ketika Abu Bakar radhiyallahu 'anhu melihatnya, ia pun mundur ke belakang agar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dapat menempati posisinya. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengisyaratkan kepadanya agar ia tetap di tempatnya hingga Abu Bakar radhiyallahu 'anhu menyelesaikan shalatnya.” Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun wafat. ‘Umar bin Khathab radhiyallahu 'anhu berkata:”Demi Allah jika aku mendengar seseorang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah wafat, maka aku akan membunuhnya dengan pedangku ini.”
Salim bin’Ubaid radhiyallahu 'anhu berkata:”Semua orang yang ada ketika itu adalah orang yang tidak dapat membaca (umi). Belum pernah ada Nabi yang diutus kepada mereka sebelumnya. Orang-orang pun tidak ada yang berani mengomentari perihal wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka berkata:’Wahai Salim!Pergi dan temuilah salah seorang Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu panggilah ia.’ Aku pun bergegas menemui Abu Bakar radhiyallahu 'anhu yang saat itu berada di masjid. Aku menemuinya sanbil menangis. Dan ketika Abu Bakar radhiyallahu 'anhu melihatku, ia bertanya:’Apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah wafat?’ Aku menjawab:’Sesungguhnya ‘Umar radhiyallahu 'anhu mengatakan:’Tidaklah aku mendengar seseorang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah wafaf, melainkan aku akan membunuhnya dengan pedangku ini!’Lalu Abu Bakar radhiyallahu 'anhu berkata:’Bergegaslah engkau’.
Kemudian aku bergegas pergi bersamanya, ketika Abu Bakar radhiyallahu 'anhu datang, orang-orang telah lebih dahulu masuk dan melihat jasad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Abu Bakar radhiyallahu 'anhu berkata:”Wahai orang-orang berikan jalan untukku!’Mereka lalu memberikan jalan untukknya sehingga Abu Bakar radhiyallahu 'anhu langsung memeluk dan menyentuh jasad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seraya mengucapkan:
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ {30}
“Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka akan mati (pula).” (QS.Az-Zumara: 30)
Kemudian para Sahabat radhiyallahu 'anhum bertanya:’Wahai Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (yang dimaksud adalah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu), apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah wafat?’ Abu Bakar radhiyallahu 'anhu menjawab:’Ya’. Dan, mereka percaya bahwa Abu Bakar radhiyallahu 'anhu telah berkata benar.
Kemudian mereka kembali bertanya:’Wahai Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan dishalati?’Ia menjawab:’Ya’. Mereka bertanya lagi:’Bagaimana?’Abu Bakar radhiyallahu 'anhu menjawab:’Sekelompok orang masuk, lalu bertakbir, membaca shalawat, dan mendoakannya. Setelah itu hendaknyamereka keluar. Lalu kelompok lainnya masuk, kemudian bertakbir, membaca shalawat, dan mendoakannya. Kemudian mereka keluar….,”sampai semua orang ikut menshalatkannya.
Mereka bertanya lagi:”Wahai Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan dimakamkan? Ia menjawab:’Ya’. Mereka bertanya:’Di mana?’ Abu Bakar radhiyallahu 'anhu:’Di mana Allah mencabut arwahnya, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mencabut arwahnya melainkan di tempat yang baik.’Dan mereka pun mengetahui bahwa Abu Bakar radhiyallahu 'anhu telah berkata benar.
Kemudian Abu Bakar radhiyallahu 'anhu memerintahkan agar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dimandikan oleh anak-anak dari pihak bapak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dalam kitab asy-Syamaa-il, syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan:”Yakni anak-anak dari pihak bapaknya, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dimandikan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, sedangkan al-Fadhl bin ‘Abbas, Usamah, dan Syaqran (mantan budak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) radhiyallahu'anhum yang mengambilkan airnya untuk ‘Ali radhiyallahu 'anhu. ‘Umar radhiyallahu 'anhu berkata:”Demi Allah, jika aku mendengar seseorang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah wafat, maka aku akan membunuhnya dengan pedangku ini!!
Apakah yang membuat ‘Umar radhiyallahu 'anhu mengancam dengan pedangnya?!
Sesungguhnya kedudukan beliau shallallahu 'alaihi wasallam begitu tinggi di hatinya.
Ia benar-benar mencintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melabihi cintanya terhadap drinya sendiri, anaknya, iatrinya, hartanya, dan manusia seluruhnya.
Adapun perihal seluruh Sahabat radhiyallahu 'anhu sesunguhnya mereka belum pernahmempunyai seorang Nabi sebelum Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sehingga menjadikan mereka tahu apa yang seharusnya mereka lakukan (apabila mengalami peristiwa seperti ini, tambahan penyadur). Karena ietulah mereka menahan diri untuk bicara.
Adapun Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, ia memeluk dan menyentuh jenazah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seraya membaca firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ {30}
“Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka akan mati (pula).” (QS.Az-Zumara: 30)
Ini menunjukkan pemahaman Abu Bakar radhiyallahu 'anhu terhadap al-Qur-an. Ia memahami dari ayat ini bahwa kematian adalah perkara yang pasti akan dialami oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Namun, situasi yang begitu genting serta besarnya kecintaan para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lah yang membuat mereka bersikap berbeda dari semestinay, dan ini bukan merupakan sesuatu yang mengherankan. Sebab, sosok yang pergi meninggalkan mereka adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam!!!
Berapa banyak manusia ditinggal pergi oleh anak-anaknya, lalu mereka pingsan, bahkan di antar mereka ada pula yang sampai kehilangan akalnya, bahkan ada pula yang terkena penyakit berbahaya.
Kemudian para Sahabat radhiyallahu 'anhum bertanya:’Wahai Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (yang dimaksud adalah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu), apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah wafat?’ Abu Bakar radhiyallahu 'anhu menjawab:’Ya’. Dan, mereka percaya bahwa Abu Bakar radhiyallahu 'anhu telah berkata benar.
Ketika itulah para Sahabat radhiyallahu'anhum merasa tenang dan menyadari bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah wafat. Dari Anas radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
((لما كان اليوم الذي دخل فيه رسول الله صلى الله عليه وسلم المديتة، أضاء منها كل شيئ،فلما كاناليوم الذي مات فيه،أظلم منها كل شيئ،وما نفضنا عن النبي صلى الله عليه وسلم الأيدي حتى أنكرنا قلوبنا))
“Pada hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memasuki kota Madinah, segala sesuatu di kota tersebut menjadi begitu terang. Tetapi, pada hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat, segala sesuatu di kota tersebut menjadi begitu gelap. Belum lagi kami selesai menguburkan beliau, kami telah mengingkari apa yang ada dalam hati kami.” (HR. Imam Ibnu Majah rahimahullah, Shahih Sunan Ibnu Majah no.1327)
Pada hari itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memasuki Madinah; segala sesuatu di kota tersebut menjadi begitu terang…Segala sesuatu di Madinah menjadi bersinar.
Madinah menerangi dan menyinari segalanya dengan datangnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kegembiraan memenuhi setiap hati anak kecil dan orang dewasa, laki-laki maupun perempuan. Maka, pada hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat. Pada hari mereka kehilangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam segala sesuatu menjadi gelap. Bumi pun berubah, dan ia bukan lagi bumi yangh mereka ketahui selama ini. Segala sesuatu di kota tersebutmenjadi begitu gelap…
Hati mereka pun terasa sempit. Belum lagi kami selesai menguburkan beliau, kami telah mengingkari apa yang ada dalam hati kami.belum lagi mereka selesai membersihkan tangan dan menguburkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, mereka telah mengingkari hati mereka. Hati bagaimanakah yang mereka kenal selama ini? Mereka mengingkari hati mereka karena lembutnya perasaan dan emosional mereka.
Namun, apa yang kita lakukan dengan hati kita yang tidak pernah mengingkari hal tersebut dan mata kita tidak pernahmelihat sesuatu apapun di balik itu semua?!
Seorang penyair berkata:
Seorang penyair berkata:
Barang siapa yang hina, maka sebuah penghinaan akan terasa ringan baginya….Dan luka tidak akan pernah membuat mayat merasakan sakit…..
abdkadiralhamid@2013
No comments:
Post a Comment