Tuesday, May 21, 2013

Mengucapkan Sayyidina Muhammad bukan Bid'ah



Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.
Sebagian orang membid’ahkan panggilan Sayyidinaa atau Maulana didepan nama Muhammad Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam, dengan alasan bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam sendiri yang menganjurkan kepada kita tanpa mengagung-agungkan dimuka nama beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam Memang golongan ini mudah sekali membid’ahkan sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud Bid’ah itu apa. Mari kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam yang berkaitan dengan kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam Fis-Shalati Was-Salam ‘An Sayyidil-Anam dengan tegas mengatakan: Menyebut nama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan kita) didepannya merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim yang mencintai beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam Sebab kata tersebut menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian kedudukan beliau. Allah Subhanahu wa ta’aala memerintahkan ummat Islam supaya menjunjung tinggi martabat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam, menghormati dan memuliakan beliau, bahkan melarang kita memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara sebagaimana kita menyebut nama orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak berarti lain kecuali untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam Allah Subhanahu wa ta’aala berfirman :
“Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang diantara kalian”. (QS.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi mengatakan: Makna ayat itu ialah janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud oleh ayat tersebut diatas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama beliau Shollallaah ‘alaih wa sallamtanpa menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam, baik dikala beliau masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali keharibaan Allah Subhanahu wa ta’aala yang sudah jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut berarti tidak mengindahkan larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap demikian bukanlah sikap orang beriman.
Menurut Ibnu Jarir rahimahullah, dalam menafsirkan ayat tersebut, Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu (An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan mengagungkan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam
Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam atau memanggil beliau hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulullah atau Ya Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari syarh Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas, dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun kaum Muslimin memanggil Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah Subhanahu wa ta’aala melarang mereka menyebut atau memanggil Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam dengan ucapan-ucapan tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya Nabiyallah.
Hampir seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunakan sebutan atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas turun.
Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan makna tersebut diatas. Antara lain firman Allah Subhanahu wa ta’aala dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat ini Allah Subhanahu wa ta’aala memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan memuliakan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam, bahkan menyebut mereka sebagai orang-orang yang beruntung. Juga firman Allah Subhanahu wa ta’aala mengajarkan kepada kita tatakrama yang mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.
Firman-firman Allah Subhanahu wa ta’aala tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah Subhanahu wa ta’aala mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina atau junjungan kita Muhammad Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam Menyebut nama beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam tanpa diawali dengan kata yang menunjukkan penghormatan, seperti sayyidina tidak sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.
Dalam surat Aali-‘Imran:39 Allah Subhanahu wa ta’aala menyebut Nabi Yahya alaihissalaam dengan predikat sayyid :
“…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari) Allah, seorang sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang sholeh”.
Para penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan istilah  saadat (jamak dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah Subhanahu wa ta’aala dalam firman-Nya :
“Dan mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”. (QS. Al-Ahzab:67).
Juga seorang suami dapat disebut dengan kata sayyid, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa ta’aala dalam surat Yusuf : 25 :
“Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga koyak, kemudian kedua-duanya memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan pintu”. Dalam kisah ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.
Demikian juga kata Maula yang berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain sebagainya. Banyak terdapat didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam surat Ad-Dukhan: 41 Allah berfirman :
“…Hari (kiamat) dimana seorang maula (pelindung) tidak dapat memberi manfaat apa pun kepada maula (yang dilindunginya) dan mereka tidak akan tertolong”.
Juga dalam firman Allah Subhanahu wa ta’aala dalam Al-Maidah : 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk Allah Subhanahu wa ta’aala, Rasul dan orang yang beriman.
Jadi kalau kata sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan kedudukan seseorang alasan apa yang dapat digunakan untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam.
Demikian pula soal penggunaan kata maula. Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang  Nabi yang diimani dan dicintainya dengan awalan sayyidina atau maulana?
Mengapa orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi pemerintahan, kepada para presiden, para raja atau menteri, atau kepada diri seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ atau ‘Yang Terhormat’ tidak dituduh berbuat bid’ah? Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa sikap menolak penggunaan kata sayyid atau maula untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan kedudukan dan martabat beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam Atau sekurang-kurang hendak menyamakan kedudukan dan martabat beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana kita ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam tanpa diawali dengan kata sayyidina dan tanpa dilanjutkan dengan kalimat sholawat (Shollallaah ‘alaih wa sallam). Menyebut nama Rasulullah dengan cara demikian menunjukkan sikap tak kenal hormat pada diri orang yang bersangkutan. Cara demikian itu lazim dilakukan oleh orang-orang di luar Islam, seperti kaum orientalis barat dan lain sebagainya. Sikap kaum orientalis ini tidak boleh kita tiru.
Banyak hadits-hadits shohih yang menggunakan kata sayyid, beberapa diantaranya ialah :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya (rumah tangga nya)”. (HR Bukhori dan Adz-Dzahabi).
Jadi kalau setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang paling tinggi martabatnya dan paling mulia kedudukannya disisi  Allah  yaitu junjungan kita Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam   tidak boleh disebut sayyid ?
Didalam shohih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam memberitahu para sahabatnya, bahwa pada hari kiamat kelak Allah Subhanahu wa ta’aala akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan sayyid?” (alam ukrimuka wa usawwiduka?)
Makna hadits itu ialah, bahwa Allah Subhanahu wa ta’aala telah memberikan kemuliaan dan kedudukan tinggi kepada setiap manusia. Kalau setiap manusia dikarunia kemuliaan dan kedudukan tinggi, apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan martabatnya daripada manusia lainnya? Kalau manusia-manusia biasa saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam tidak boleh disebut sayyid atau maula?

Dalil-dalil orang yang membantah dan jawabannya
– Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi: “Laa tusayyiduunii fis-shalah” artinya “Jangan menyebutku (Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam) sayyid didalam sholat”. Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam untuk mempertahankan pendiriannya itu lupa atau memang tidak mengerti bahwa didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata kerja tusayyidu. Tidak ada kemungkinan sama sekali Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallammengucapkan kata-kata dengan bahasa Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi bahasanya saja, hadits itu tampak jelas kepalsuannya. Namun untuk lebih kuat membuktikan kepalsuan hadits tersebut baiklah kami kemukakan beberapa pendapat yang dinyatakan oleh para ulama.
Dalam kitab Al-Hawi , atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjawab tegas : “Tidak pernah ada (hadits tersebut), itu bathil !”.
Imam Al-Hafidz As-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits itu tidak karuan sumbernya ! “
Imam Jalaluddin Al-Muhli, Imam As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami, Imam Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan lain-lainnya, semuanya mengatakan : “Hadits itu sama sekali tidak benar”.
- Selain hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang semakna, yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ; “Jangan mengagungkan aku (Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam) di masjid”.
Dalam kitab Kasyful Khufa Imam Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengata- kan: “Itu bathil !”. Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘Ifah menyatakan tentang hadits ini: “Kebohongan yang diada-adakan”.
Memang masuk akal kalau ada orang yang berkata seperti itu yakni jangan mengagungkan aku di masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam atau sebagai hadits beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam, jelas hal itu suatu pemalsuan yang terlampau berani.
Mari kita lanjutkan tentang hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini:
– Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallambersabda : “Aku sayyid anak Adam…” . Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti pemimpin ummat, orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling sempurna dalam segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi ummat yang dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan, bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang yang paling mulia disisi Allah. Qatadah ra. mengatakan, bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan At-Turmudzi, Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda :
“Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”. Surmber riwayat lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhori dan Imam Muslim, mengatakan bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda : “Aku sayyid semua manusia pada hari kiamat”.
Hadits tersebut diberi makna oleh Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam sendiri dengan penjelasannya: ‘Pada hari kiamat, Adam dan para Nabi keturunannya berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda : “Aku sayyid dua alam”.
– Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum didalam kitab Dala’ilun-Nubuwwah mengatakan bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda : “Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka dibangkitkan kembali (pada hari kiamat)”.
- Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang bertaqwa”.
– Sebuah hadits yang dengan terang mengisyaratkan keharusan menyebut nama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam diawali dengan kata sayyidina diketengahkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai isnad shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada suatu hari kulihat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Shollallaah ‘alaih wa sallam beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulullah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’.
Riwayat hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam lebih suka kalau para sahabatnya menyebut nama beliau dengan kata sayyid. Dengan kata sayyid itu menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari semua manusia sejagat.
Semua hadits tersebut diatas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam adalah sayyid anak Adam, sayyid kaum muslimin, sayyid dua alam (al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap muslim yang mencintai beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam
– Demikian pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah mengetengahkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda :
“Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu” artinya : “Barangsiapa aku menjadi maula-nya (pemimpinnya). ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah maula-nya…”
– Dari hadits semuanya diatas tersebut kita pun mengetahui dengan jelas bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam adalah sayyidina dan maulana (pemimpin kita). Demikian juga para ahlu-baitnya (keluarganya), semua adalah sayyidina. Al-Bukhori meriwayatkan bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam pernah berkata kepada puteri beliau, Siti Fathimah ra :
“Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’minin au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum mu’minin (kaum orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam shohih Muslim hadits tersebut berbunyi: “Yaa Fathimah ammaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaa’il mu’mininat au sayyidata nisaa’i hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah mu’mininat (kaum wanitanya orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :
“Amaa tardhiina an takuunii sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au nisaail ‘Alamina” artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”
Demikianlah pula halnya terhadap dua orang cucu Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma. Imam Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad shohih bahwa pada suatu hari Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu sayyida asybaabi ahlil jannati” artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang sayyid pemuda ahli surga”.
Berdasarkan hadits-hadits diatas itu kita menyebut puteri Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam Siti Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna. Demikianlah pula terhadap dua orang cucu Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
– Ketika Sa’ad bin Mu’adz radhiyallaahu ‘anhu diangkat oleh Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraidah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendaraan keledai, saat itu Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam berkata kepada orang-orang yang hadir: “Quumuu ilaa sayyidikum au ilaa khoirikum” artinya : “Berdirilah menghormati sayyid (pemimpin) kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.
Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara beberapa fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari keledainya, karena dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun –misalnya– Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam melarang  para sahabatnya berdiri menghormati beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam, tetapi beliau sendiri malah memerintahkan mereka supaya berdiri menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah artinya ? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa yang dikehendaki oleh Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam dengan larangan dan perintahnya mengenai soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara terang-terangan minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak, si adik dan si murid harus merasa dirinya wajib menghormati ayahnya, ibunya, kakaknya dan gurunya. Demikian juga Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam sekalipun beliau menyadari kedudukan dan martabatnya yang sedemikian tinggi disisi Allah Subhanahu wa ta’aala, beliau tidak menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan beliau. Akan tetapi kita, ummat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam, harus merasa wajib menghormati, memuliakan dan mengagungkan beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam
Allah Subhanahu wa ta’aala berfirman dalam Al-Ahzab: 6 : “Bagi orang-orang yang beriman, Nabi (Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para isterinya adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menyatakan: Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua orang beiman! Ayat suci diatas ini jelas maknanya, tidak memerlukan penjelasan apa pun juga, bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam lebih utama dari semua orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang sebagai ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata awalan sayyidina atau maulana pantas dituduh berbuat bid’ah? Semoga Allah Subhanahu wa ta’aala memberi hidayah kepada kita semua. Amin
– Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian mengucapkan shalawat dengan sebaik-baiknya. Kalian tidak tahu bahwa sholawat itu akan disampaikan kepada beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam, karena itu ucapkanlah : ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulullah) dan Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang bertakwa)”
– Para sahabat Nabi juga menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut nama masing-masing, sebagai tanda saling hormat-menghormati dan harga-menghargai. Didalam Al-Mustadrak Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu selalu mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam menyebutnya (Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu) sayyid’ “.
– Ibnu ‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah mengenai pembicaraannya soal sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai berikut: “Hendak- nya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan lafadz sayyidina dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi wejangan para ulama pakar cara sebaik-baiknya membaca sholawat pada Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam yang tidak tercantum disini.
Nah, kiranya cukuplah sudah uraian diatas mengenai penggunaan kata sayyidina atau maulana untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam Setelah orang mengetahui banyak hadits Nabi yang menerangkan persoalan itu yakni menggunakan kata awalan sayyid, apakah masih ada yang bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam menyebut nama beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah orang yang demikian itu hendak mengingkari martabat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam sebagai Sayyidul-Mursalin (penghulu para Rasulullah) dan Habibu Rabbil-‘alamin (Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana tercelanya orang yang berani membid’ahkan penyebutan sayyidina atau maulana dimuka nama beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam? Yang lebih aneh lagi sekarang banyak diantara golongan pengingkar ini sendiri yang memanggil nama satu sama lain diawali dengan sayyid atau minta juga agar mereka dipanggil sayyid dimuka nama mereka !

Ada hadis yang mengungkapkan kata-kata "Sayyid" sebagai berikut:

اَلسَّيِّدُ اللهُ
"Sayyid adalah Allah"

Asal muasal (asbabul wurud) hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud tersebut berasal dari cerita seorang laki-laki yang datang kepada Rasulallah dan berkata kepada beliau "Engkau adalah sayyidnya orang-orang Quraisy" Lalu Rasulallah menjawab perkataan laki-laki tersebut dengan sabda sebagaimana dalam hadits di atas. 

Hadits tersebut kerap di buat dalil oleh sebagian kalangan untuk membid'ahkan ucapan sayyidina saat nama Nabi Muhammad di sebut dan di katakan bahwa kata sayyidina tersebut tidak boleh di ucapkan sebagai panggilan kepada makhluk selain Allah. Pernyataan seperti itu adalah pernyataan batil yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah yang mutawatir.

Dalam al-Qur'an surat Ali Imran: 39 terdapat kata sayyid yang di sebutkan untuk Nabi Yahya. Surat Yusuf: 25 terdapat kata sayyid yang di sebutkan untuk al-Aziz (mantan suami Zalikha', istri Nabiyullah Yusuf) dan dalam surat al-Ahzab: 67 terdapat kata sadatina (jama' dari kata sayyid) untuk pimpinan orangfi-orang kar.

Sedangkan dalam hadits Rasulallah riwayat al-Bukhari (hadits no: 4712), Muslim (hadits no: 194) dan lain-lain di sebutkan:

اَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ
"Aku adalah sayyidnya anak Adam"

Dalam al-Bukhari (hadits no: 7204) juga di sebutkan:

إِنَّ ابنِْي هَذَا سَيِّدٌ
"Sungguh anakku (cucu ) ini adalah sayyid"

Dan hadits-hadits lain yang menyebutkan tentang di perbolehkannya menisbatkan kata sayyid kepada selain Allah, seperti dalam al-Bukhari (hadits no: 6286 dan 3043), Ahmad (hadits no: 10616), Muslim (hadits no: 2249) dan lain-lain .

Lalu bagaimana menjawab hadits Nabi yang mengatakan bahwa sayyid adalah Allah? Al-Khaththabi memberikan jawaban bahwasannya derajat siyadah (sayyid) secara haqiqat hanya di miliki oleh Allah dan semua makhluk adalah hamba-Nya. Akan tetapi Rasulallah melarang seorang laki-laki menyebut beliau sebagai sayyid yang padahal Rasulallah sendiri adalah sayyidnya keturunan Adam (Bani Adam) adalah karena laki-laki tersebut memeluk Islam belum lama dan dia punya penyangkaan bahwa derajat siyadah sebab pangkat kenabian di anggap sama seperti siyadah dalam pangkat urusan duniawi, lantaran dia mempunyai seorang pimpinan yang di agungkan dan di taati perintahnya. Maksud dari yang di sampaikan al-Khaththabi tersebut adalah supaya laki-laki tersebut tidak menyamakan menyebut sayyid karena pangkat kenabian dengan di samakan dengan sayyid dalam urusan pimpinan dunia.

Sedangkan menurut al-Hafizh al-Ghumari, bahwa kata sayyid menurut bahasa mereka bisa di ucapkan untuk beberapa arti, bisa untuk makhluk, untuk Allah yang haqiqi, orang yang tinggi pangkatnya dalam satu kaum, seorang pimpinan yang terhormat, seorang yang penyabar dan lapang dada yang tidak cepat-cepat marah, seorang yang dermawan dan mulia atau suami. Dan ketika laki-laki dalam hadits mengucapkan "engkau adalah sayyid" maka Rasulallah khawatir jika yang di i'tikadkan adalah sayyid secara haqiqi, yaitu Allah, lantaran laki-laki tersebut adalah orang yang baru mengenal agama Islam, kaidah-kaidahnya serta hal-hal yang wajib bagi Allah dan yang boleh. Maka Rasulallahpun mengingatkannya bahwa sayyid yang haqiqi adalah Allah.

Adapun hadits tentang pelarangan mengucapkan sayyid untuk Rasulallah di dalam shalat, yaitu:

لاَ تُسَيِِّدُوِنِي فِي الصَّلاَةِ
"Janganlah kalian mengucapkan Sayyid kepadaku di dalam shalat"

Adalah hadits maudhu' atau palsu sebagaimana kesepakan ahli hadits seperti as-Suyuthi dalam al-Hawi Lil Fatawi, al-Ajluni dalam Kasyf al-Khafa', as-Sakhawi dalam al-Maqashid dan lain-lain. Selain dari pada itu, lafazh teks haditsnya juga salah menurut ilmu Arabiyyah (sharaf) dan sangat jelek yang sangat tidak layak keluar dari mulut Rasulallah yang mulia.

Lalu apakah saat menyebut nama Rasulallah ada anjuran mengucapkan sayyidina yang padahal Rasulallah sendiri tidak pernah menyebutkan kata tersebut saat memberikan ajaran shalawat? Jawabnya adalah:

1. Memanggil nama Rasulallah dengan Muhammad adalah di larang agama, sebagaimana telah maklum dalam kitab-kitab ulama salaf serta tercatat langsung dalam al-Qur'an

لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain) (surat an-Nur: 63). 

Dan atsar dari para shahabat Rasulallah. Karena umat Muhammad di wajibkan beradab dan bertata krama saat memanggil nama beliau.

2. Qadhi Iyadh dalam Tasynif al-Adzan hal. 88 mengatakan bahwa penambahan kata sayyid atau maula (saat nama Rasulallah di sebut) adalah baik, karena hal itu termasuk bagian dari memulyakan dan mengagungkan beliau. Ketetapan ini juga di dukung oleh Imam ar-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj dan ulama-ulama lain.

3. Melarang dan mengharamkan mengucapakan kata sayyidina kepada Rasulallah atau yang lain tidak ada dalilnya baik al-Qur'an, Sunnah atau atsar shahabat. Apalagi sampai mengatakan batal shalatnya jika mengucapkan kata sayyidina ketika bershalawat kepada Rasulallah dalam shalat.

4. Kitab-kitab ulama madzhab Hanafi, Malik dan asy-Syafi'i menyepakai di syari'atkannya menambahi kata siyadah (sayyid) saat bershalawat kepada Rasulallah sebagai bagian mengagungkannya. Hal ini di dasari satu argumen bahwa mendahulukan jalan adab (suluk al-adab) lebih baik dari pada mengikuti perintah (yaitu shalawat yang di ajarkan Rasulallah tanpa kata sayyidina).

No comments:

Post a Comment