Friday, May 17, 2013

APAKAH HADITS UNTUK DIAMALKAN HARUS SHAHIH ?


Jawabnya, para ulama telah sepakat, bahwa hadits yang telah sampai pada derajat shahih atau hasan adalah baik untuk diamalkan, atau dijadikan hujjah dalam menyatakan hukum syara’. Adapun hadits dhaif, mayoritas ulama membolehkan menggunakannya untuk memberi sugesti amalan utama dan perkara mustahab dengan sayarat tertentu, sebagaimana telah kita maklumi. Akan tetapi, ada sebagian imam yang suka berpagang pada hadits dhaif untuk hujjah hukum syara’, halal dan haram. Bahkan mereka lebih suka pada hadits dhaif ini dari pada berpegang pada kias, yang memang menjadi salah satu sumber legislasi hukum Islam, sebagaimana telah disepakati oleh mayoritas ulama Islam. Ulama yang berpegang pada hadits dhaif dalam persoalan ini adalah ketiga Imam Mujtahid, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hanbul. 2) Disamping itu, ada pula sekelompok ahli hadits, seperti Imam Abu Dawud, Imam Nasai dan Imam Ibnu Hatim 3) berpendapat sama, tapi dengan dua syarat, yaitu :

1. Hadits dhaif itu tidak keterlaluan dhaifnya.
2. Hanya hadits itulah satu-satunya yang menjelaskan masalah itu, tidak ada hadits lainnya yang lebih kuat. Dengan kata lain, tujuan hadits dhaif itu masih dibenarkan oleh hadits shahih atau hasan.

Abdullah, putra Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Aku pernah bertanya kepada ayah tentang seorang yang merantai ke suatu negeri, dan orang itu tidak mendapatkan ulama tempat bertanya. Hanya ada seorang penemu hadits yang tidak mengetahui, apakah hadits itu shahih atau dhaif. Di negeri itu orang suka menggunakan pendapat (kias). Pengembara itu menjumpai masalah yang harus dipecahkan. Kepada siapakah ia harus bertanya? Apakah kepada penemu hadits itu, atau kepada orang yang suka menggunakan pendapatnya?” Maka ayah menjawab, “Dia harus bertanya kepada penemu hadits, dan tidak boleh bertanya kepada orang yang menggunakan pendapatnya. Sebab, hadits itu dhaif lebih kuat dari pada pendapat.” 1) Bahkan Imam Syafi’i sendiri menggunakan hadits mursal, apabila dalam suatu masalah ia tidak menemukan hadits lainnya.
Padahal ia berpendapat, bahwa hadits mursal itu dhaif. Begitulah Imam Sakhawi mengutip dari Imam Syafi’i melalui Imam Mawardi, salah seorang dari pemuka madzhab Syafi’iah dalam kitab Fathul Mughits Jilid I, halaman 80, 142 dan 268.
Adalagi medan lain untuk pengamalan hadits dhaif ini, yaitu apabila ada sebuah hadits yang lafalnya mengandung dua arti yang tidak diketahui salah satu artinya yang lebih kuat, lalu ada sebuag hadits dhaif yang menguatkan salah satu arti itu. Dalam hal ini kita berpegang dalam salah satu arti dari lafal hadits yang diperkuat oleh hadits dhaif tersebut. Hendaklah kita memperhatikan, bahwa para ulama imam salaf kita juga menggunakan hadits dhaif, sebagaimana telah kita ketahui. Lain dengan sekelompok manusia sekarang, yang tergesa-gesa dan dengan gegabah menyia-nyiakan hadits dhaif, bahkan menggolongkannya kedalam hadits maudhu’ (palsu), dan dikaitkan menjadi sepasang hadits yang tak ada artinya.
===============================================================
1. Syarah Musnad Abi Hanifah, Al-Qari, halaman 3 dengan sanad dari Ath-Thahawi dari Abi Hanifah.
2. Mirkatul Mafatih syarah misyakatul Mashabih, Ali Al-Qari jilid I, halaman 19
3. Fathul Mughhits, Sakhawi jilid I, halaman 80 dan 267, dan kitab ilmu hadits yang lain. Juga dalam Hasyiyah As- Sindi Ala Sunan An-Nasaai jilid I, halaman 6 dan dalam Al-Jarhu wat-Ta’dil Ibnu Abi Hatim jilid IV, I, halaman 347 dan Imam Nawawi mengutip pembicaraannya dalam Tahdzibul Asma’wal- Lughat Jilid II, I, halaman 86
1. Dari kitab AL-Muhalla Ibnu Hazm jilid I, halaman 68, dan disebutkan juga oleh Sakhawi dalam kitab Fathul Mughits jilid Im halaman 80 dengan keterangan yang sama dan isnad yang shahih pula.



Hadits merupakan salah satu sumber hukum Islam, yang fungsinya menjelaskan, mengukuhkan dan ‘melengkapi’ firman Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur’an. Di antara berbagai macam hadits, ada istilah Hadits Dha’if.

Dalam pengamalannya, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian kalangan ada yang tidak membenarkan untuk mengamalkan Hadts Dha’if. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Hadits tersebut bukan dari Nabi Muhammad SAW. Lalu apakah sebenarnya yang disebut Hadits Dha’if itu? Benarkah kita tidak boleh mengamalkan Hadits Dha’if?

Secara umum Hadits terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu:

Pertama, Hadits Shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan yang kuat, mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadits) yang bersambung ke Rasulullah SAW, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz  (menyalahi aturan umum). Para ulama sepakat bahwa hadits ini dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah hukum, aqidah dan lainnya.
Kedua, Hadits Hasan, yakni hadits yang tingkatannya berada di bawah Hadits Shahih, karena para periwayat hadits ini memiliki kualitas yang lebih rendah dari para perawi Hadits Shahih. Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana Hadits Shahih.
Ketiga, Hadits Dha’if, yakni hadits yang bukan Shahih dan juga bukan Hasan, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkatan sebagai perawi Hadits Hasan.
Hadits Dha’if ini terbagi menjadi dua. Pertama, ada riwayat lain yang dapat menghilangkan dari ke-dha’if-annya. Hadits semacam ini disebut Hadits Hasan li Ghairih, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar’i. Kedua, hadits yang tetap dalamke-dha’if-annya. Hal ini terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi hadits yang lain itu termasuk orang yang dicurigai sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau fasiq.
Dalam kategori yang kedua ini, para ulama mengatakan bahwa Hadits Dha’if hanya dapat diberlakukan dalam fada’ilul a’mal (keutamaan beramal), yakni setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir atau hukum, yakni hadits-hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhib (janji-janji dan ancaman Allah SWT) sebagaimana diterangkan di dalam kitab “Al-Adzkar” karya Imam Nawawi, cetakan pertama “Maktabah Tijariyah al-Kubra” tahun 1356 H / 1938 M halaman 7 sebagai berikut:
قال العلماء من المحدثين والفقهاء وغيرهم : يحوز ويستحب العمل فى الفضائل والترغيب والتبرهيب بالحديث الضعيف مالم يكن موضوعا، واما الاحكام كالحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغير ذلك فلا يعمل فيها الا بالحديث الصحيح أو الحسن الا أن يكون في احطياط في شيئ من ذلك كما اذا ورد حديث ضعيف بكراهة بعض البيوع او الأنكحة فإن المستحب او يتنزّه عنه ولكن لا يجب. وانما ذكرت هذا الفصل لأنه يجيئ في هذا الكتاب أحاديث أنص على صحتها أو حسنها أو ضعفها.
Artinya: “Para ulama hadits dan fiqih serta ulama lainnya berkata: Diperbolehkan bahkan disunnahkan mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan beramal, baik berupa anjuran maupun larangan selama hadits itu bukan hadits maudhu’”.
 Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma’ di kalangan ulama tentang kebolehan mengamalkan Hadits Dha’if jika berkaitan dengan fadha’ilul a’mal ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat Al-Qur’ an, serta akidah, maka apa yang termaktub dalam hadits tersebut tidak dapat dijadikan pedoman. Sebagaimana yang disitir oleh Sayyid ‘Alawi al-Maliki dalam kitabnya Majmu’ Fatawi wa Rasa’il:
 ”Para ulama ahli Hadits dan lainnya sepakat bahwa Hadits Dha’if dapat dijadikan sebagai pedoman dalam masalah fadha’il al-a’mal. Di antara ulama yang mengatakannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Mubarak, dan Sufyan, al-Anbari serta ulama lainnya. (Bahkan) Ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah berkata: Apabila kami meriwayatkan (Hadfts) menyangkut perkara halal ataupun yang haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan Hadfts tentang fadha’il al-a’mal, maka kami melonggarkannya”. (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il251)
 Akan tetapi, kebolehan ini harus memenuhi tiga syarat. Pertama, bukan hadits yang sangat dha’if. Karena itu, tidak boleh mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya.
 Kedua, masih berada di bawah naungan ketentuan umum serta kaidah-­kaidah yang universal. Dengan kata lain, hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, tidak sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
 Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan Hadits Dha’if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyath atau berhati-hati dalam masalah agama.
 Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kita tidak harus dengan keras menolak Hadits Dha’if. Karena, dalam hal-hal tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat sebagaimana diterangkan di atas.
  


Hadits dho’if tidaklah sama dengan hadits maudhu’.Hadits dho’if adalah hadits yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bukan hadits yang dikarang-karang atau yang dibuat-buat oleh sembarang manusia. Hanya saja salah satu pemangkunya (sanadnya) ada yang terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif, tapi tetap saja hadits dhoif bukan hadits palsu!
Zaman awal Islam mulai berkembang, hadits tidaklah dituliskan oleh para sahabat Nabi.Hal ini terjadi karena nabi melarang menuliskan hadits-hadits baginda yang mulia. Rasul bersabda: “La taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan hadits, Uktubul Qur’an! Tuliskanlah al Qur’an. (HR Muslim).
Dengan demikian, maka hadits hanya beredar di kalangan sahabat melalui hafalan dari satu orang ke orang lain. Hal ini berlangsung sampai tahun ke-100 Hijriyah. Saat itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai khawatir akan perkembangan hadits. Ada jutaan orang yang sudah memeluk agama islam, dan generasi pun telah berubah, tidak lagi terdiri dari sahabat-sahabat Nabi yang terkenal sangat jujur, tapi juga telah muncul orang-orang di luar komunitas Arab yang sama sekali tidak jumpa Nabi. Dan, di antara mereka ada yang kurang mujahadah dalam agama.Saat itu, mulailah muncul tukang-tukang penjual cerita yang di antara mereka bahkan berani mengarang-ngarang hadits, dan mengatakan bahwa hadits karangannya itu berasal dari Nabi.Hal ini ini membuat para Ulama mulai khawatir.
Akhirnya dibuatlah sebuah tindakan bid’ah hasanah oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan memerintahkan ditulisnya hadits-hadits Nabi, sesuatu yang sebelumnya merupakan hal yang sangat dilarang oleh Baginda Nabi. (Ini membuktikan bahwa para Ulama zaman Ta’biin, yakni orang yang sempat bertemu dengan Sahabat Nabi, telah sepakat bahwa ada bid’ah yang hasanah alias bid’ah yang baik dan akan diberi pahala oleh Allah orang yang melakukannya. Salah satunya adalah dilakukannya penulisan dan pengumpulan hadits. Hal ini sangat bertentangan dengan faham sekelompok kecil umat Islam yang mengatakan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat dan semua para pelakunya kelak akan dicampakkan ke dalam neraka).
Alhamdulillah muncullah ilmu baru dalam dunia Islam yakni ilmu Musthalah Hadits.Di antaranya adalah ilmu sanad hadits, yakni memeriksa suatu hadits itu dari orang-orang yang menghafal dan menyampaikannya terus diurut ke atas sampai kepada shahabat dan bersumber kepada Nabi.Jika para pemangkunya (sanadnya) tidak terputus, terus bersambung kepada Nabi, dan secara matan juga bagus maka hadits itu dinyatakan sebagai hadits shohih.Namun, jika ada sanad yang terputus maka hadits tersebut disebut hadits dhoif.
Saat itu jenis hadits hanya ada tiga saja, pertama hadits shohih, kedua hadits dhoif, dan ketiga disebut hadits maudhu’, yang pada hakekatnya hadits palsu.
Kelak Ilmu Hadits makin maju dan berkembang dan istilah derajat hadits pun bertambah pula. Ada hadits shohih, hadits hasan lidzatihi, hadits hasan lighoirihi, hadits mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi, hadits dhoif, munkar, dan maudhu’ dll.
Kedudukan hadits Dhoif
Semua madzhab Imam yang Empat yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali sepakat bahwa hadits dhoif tidak boleh dibuang semuanya, karena hadits dhoif adalah hadits Rasulullah yang berderajat dhoif, bukan hadits maudhu’. Imam Hambali, madzhab beliau dipakai di Saudi Arabia dalam Mahkamah Syari’ah di sana, memutuskan bisa mengambil hukum dengan bersandar pada hadits dhoif sekalipun, jika saja tidak didapati ada hadits yang shohih dalam perkara tersebut. Imam Syafi’i memakai hadits dhoif sebagai penyemangat dalam beramal (fadhoilul a’mal).Demikian juga halnya Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Sebagai contoh: Imam Hambali mengambil hukum bersentuhnya kulit antara pria dan wanita dewasa yang bukan mahrom membatalkan wudhu’. Padahal hadits ini kedudukannya dhaif, diriwayatkan dari Aisyah ra.Meskipun demikian ulama empat mazhab tidak pernah menyesatkan Imam Hambali atas tindakan beliau yang mengutip hadits dhaif sebagai dalil untuk menegakkan hukum (hujjah).
Kenapa hadits dhoif tidak serta merta dibuang? Logikanya begini!
Imam Hambali umpamanya.Beliau menghafal sejuta hadits lengkap dengan sanad-sanadnya.Namun kenyataannya, hadits yang beliau hafal itu hanya sempat dituliskan sebanyak 27.688 buah hadits.Nah, kemana perginya yang 970 ribuan hadits lagi? Semua yang tersisa itu Tentu karena TIDAK DAPAT DITULISKAN, BUKAN KARENA DIBUANG begitu saja! Hal ini disebabkan karena kesibukan sang Imam dalam mengajar sehari-hari, menjawab pertanyaan masyarakat, memberi fatwa dan juga beribadah untuk dirinya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Imam Hambali setiap malam melakukan sholat sekitar 300 rakaat banyaknya.Belum lagi karena keterbatasan peralatan saat itu. Kertas belum banyak, juga tinta dan pena masih sangat sederhana. Sementara mesin ketik, alat cetak, apalagi computer sama sekali belum ada. Sebab itulah sedikit sekali hadits yang beliau hafal itu yang sempat ditulis dan sampai kepada kita.
Namun demikian, tidaklah serta merta hadits-hadits yang tidak sempat ditulis itu terbusng dan hilang begitu saja. Para murid yang setiap hari bergaul dengan sang guru pasti sempat memperhatikan dan menghafal setiap gerak langkah sang guru. Dan, gerak langkah sang guru ini pastilah sesuai dengan tuntunan sejuta hadits yang beliau hafal di dadanya. Sehingga kelak setelah sang guru wafat para muridnya mulai menulis dalam berbagai masalah dengan rujukan perilaku atau fiil sang guru tersebut. Prilaku sang guru tersebut kemudian hari dituliskan juga sebagai hadits yang terwarisi oleh kita sehingga kini.
Dalam rangka memilah dan memilih hadits dhaif para ulama hadits empat mazhab membagi-baginya dalam berbagai bagian. Ada yang membaginya ke dalam 42 bagian, ada yang membaginya menjadi 49 bagian dan ada yang membaginya ke dalam 89 bagian. Hadits-hadits inilah yang dipilah dan dipilih dan sebagiannya dapat diamalkan juga karena dhaifnya tidak keterlaluan.
Ulama hadits bukanlah sembarangan orang.Mereka memiliki ukuran tersendiri agar masuk ke dalam golongan ulama hadits.Ada ulama hadits yang sampai derajat hafizh, yakni mereka yang telah menghafal 100 ribu hadits lengkap dengan sanad-sanadnya.Di atas derajat hafizh ada yang disebut ulama hujjah, yakni mereka yang menghafal 300 ribu hadits beserta sanad-sanadnya.Di atas kedua derajat ini ada lagi yang dinamai hakim, yakni yang kemampuannya diatas hafizh dan hujjah.Dahsyat bukan?

Sayangnya, ada segelintir manusia akhir zaman, yang mana dia bukan seorang hafizh, bukan pula seorang hujjah apalagi seorang hakim, tetapi anehnya mereka berani bersuara lantang mengkritik dan menuduh sesat amal serta keputusan ulama-ulama hadits terdahulu
.
Kata mereka hadits ini dhoif, hadits itu mauhdu’, hadits ini munkar menyalahi pendapat ahli hadits tempo dulu, padahal mereka tidak pernah sekalipun bertemu dengan salah seorang pemangku (sanad) dari hadits yang mereka kritik itu.Sementara yang mereka caci itu justru orang-orang yang pernah kenal, bertemu dan bergaul langsung dengan para sanad tersebut.Lantas, ketika mereka sudah mengatakan sanad ini dan sanad itu terpercaya, tiba-tiba muncul manusia yang lahir entah zaman kapan dan hanya bermodal membaca buku di perpustakaan, seenaknya saja menyalahkan ulama-ulama hadits tempo dulu, dan merasa paling benar. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un! .Lalu mereka yang manakah yang patut kita percaya?

Sebagai contoh sebuah persoalan adalah masalah qunut shubuh. Imam Syafi’I, Imam Hakim, Imam Daruquthni, dan Imam Baihaqi sepakat mengatakan bahwa hadits qunut shubuh adalah shahih, sanadnya bagus, dan mengamalkannya adalah sunat. Tiba-tiba muncul manusia zaman sekarang dengan modal nekat berani mengatakan qunut shubuh itu bid’ah, dan seluruh pelakunya akan dicampakkan ke dalam neraka. Padahal, seluruh ulama Imam Empat Madzhab tidak pernah mengatakan qunut shubuh itu bid’ah meskipun mereka tidak mengamalkannya.
Sekarang terserah anda mau percaya ulama hadits yang telah teruji tempo dulu, atau orang-orang nekat akhir zaman yang rusak ini! Wallahu a’lam.

Sumber: http://tengkuzulkarnain.net/index.php/artikel/index/45/Hadist-Dhoif

Catatan kami:
Kami kutipkan kembali bagian dari tulisan di atas yang kami cetak tebal (bold).


Sayangnya, ada segelintir manusia akhir zaman, yang mana dia bukan seorang hafizh, bukan pula seorang hujjah apalagi seorang hakim, tetapi anehnya mereka berani bersuara lantang mengkritik dan menuduh sesat amal serta keputusan ulama-ulama hadits terdahulu


Semoga bermanfaat

2 comments:

  1. Ustadz.. bagaimana dg Shalawat Shulthon... apa ada haditsnya ttg diayareatkannya shalawat tsb, kalau ada lantas apakah drajat hadits tsb... smg Allah membalas Niat baik dan kebaikan anda...

    ReplyDelete
  2. Ustadz.. bagaimana dg Shalawat Shulthon... apa ada haditsnya ttg diayareatkannya shalawat tsb, kalau ada lantas apakah drajat hadits tsb... smg Allah membalas Niat baik dan kebaikan anda...

    ReplyDelete