Dalil-Dalil Yang Mendasari Kafa’ah Syarifah
Pada dasarnya ayat-ayat Alquran yang menyebutkan keutamaan dan kemuliaan
ahlul bait secara umum merupakan dalil yang mendasari pelaksanaan
kafa’ah dalam perkawinan syarifah. Begitu pula dengan ayat yang terdapat
dalam alquran surat al-An’am ayat 87, berbunyi:
ومن أبآئهم وذرّيّتهم وإخوانهم …
“(dan kami lebihkan pula derajat) sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka…”
Ayat di atas jelas memberitahukan bahwa antara keturunan para nabi, (khususnya keturunan nabi Muhammad saw), dengan keturunan lainnya terdapat perbedaan derajat keutamaan dan kemuliaan, hal ini didasari oleh sabda Rasulullah saw yang ditulis dalam kitab Yanabbi’ al-Mawwadah:
نحن اهل البيت لا يقاس بنا
“Kami Ahlul Bait tidaklah bisa dibandingkan dengan siapapun”.
Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahj al-Balaghoh berkata, ‘Tiada seorang pun dari umat ini dapat dibandingkan dengan keluarga Muhammad
saw’. Imam Ali mengatakan bahwa tiada orang di dunia ini yang setaraf (sekufu’) dengan mereka, tiada pula orang yang dapat dianggap sama dengan mereka dalam hal kemuliaan.
Turmudzi meriwayatkan
sebuah hadits berasal dari Abbas bin Abdul Mutthalib, ketika Rasulullah ditanya tentang kemuliaan silsilah mereka, beliau menjawab:
ان
الله خلق الخلق فجعلني في خيرهم من خيرهم قرنا ثم تخير القبائل فجعلني من
خير قبيلة ثم تخير البيوت فجعلني من خيربيوتهم فأنا خيرهم نفسا و خيرهم
بيتا
“Allah menciptakan manusia dan telah menciptakan
diriku yang berasal dari jenis kelompok manusia terbaik pada waktu yang terbaik. Kemudian Allah menciptakan kabilah-kabilah terbaik, dan menjadikan diriku dari kabilah yang terbaik. Lalu Allah menciptakan keluarga-keluarga terbaik dan menjadikan diriku dari keluarga yang paling baik. Akulah orang yang terbaik di kalangan mereka, baik dari segi pribadi maupun dari segi silsilah“.
Baihaqi, Abu Nu’aim dan Tabrani meriwayatkan dari Aisyah, Disebutkan bahwa Jibril as pernah berkata:
قال لى جبريل : قلبت مشارق الارض ومغاربها فلم أجد رجلا افضل من محمد وقلبت مشارق الارض ومغاربها فلم أجد بنى أب أفضل من بني هلشم
“Jibril berkata kepadaku: Aku membolak balikkan bumi, antara Timur dan Barat,tetapi aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama daripada Muhammad saw dan akupun tidak melihat keturunan yang lebih utama daripada keturunan Bani Hasyim”.
Dalam Alquran disebutkan bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.
Sebagai contoh para sahabat nabi, mereka adalah orang-orang yang mulia walaupun mereka bukan dari kalangan ahlul bait. Memang benar, bahwa
mereka semuanya sama-sama bertaqwa, taat dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Persamaan keutamaan itu disebabkan oleh amal kebajikannya
masing-masing. Akan tetapi ada keutamaan yang tidak mungkin dimiliki oleh para sahabat nabi yang bukan ahlul bait. Sebab para anggota ahlulbait secara kodrati dan menurut fitrahnya telah mempunyai keutamaan karena hubungan darah dan keturunan dengan manusia pilihan Allah yaitu nabi Muhammad saw. Hubungan biologis itu merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal dan tidak mungkin dapat diimbangi oleh orang lain.
Lebih-lebih lagi setelah turunnya firman Allah swt dalam surah Al-Ahzab
ayat 33 yang berbunyi:
إنّما يريد الله ليذهب عنكم الرّجس اهل البيت ويطهّركم تطهيرا
“Sesungguhnya Allah swt bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlu al-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Di samping itu Rasulullah saw telah menegaskan dalam sabdanya:
ياأيهاالناس إن الفضل والشرف والمنزلة والولاية لرسول الله وذريته فلا تذ هبن الأباطيل
“Hai manusia bahwasanya keutamaan, kemuliaan, kedudukan dan kepemimpinan ada pada Rasulullah Rasulullah dan keturunannya. Janganlah kalian
diseret oleh kebatilan”.
Walaupun para ahlil bait Rasulullah menurut dzatnya telah mempunyai keutamaan, namun Rasulullah
tetap memberi dorongan kepada mereka supaya memperbesar ketaqwaan kepada Allah swt, jangan sampai mereka mengandalkan begitu saja
hubungannya dengan beliau. Karena hubungan suci dan mulia itu saja tanpa disertai amal saleh tidak akan membawa mereka kepada martabat yang setinggi-tingginya di sisi Allah.
Dengan keutamaan dzatiyah dan keutamaan amaliyah, para ahlul bait dan keturunan rasul
memiliki keutamaan ganda, keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Keutamaan ganda itulah (khususnya keutamaan dzatiyah) yang mendasari pelaksanaan kafa’ah di kalangan keturunan Rasullulah.
Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai kafa’ah syarifah, marilah kita perhatikan hadits yang menceritakan tentang adanya kafa’ah di kalangan
wanita Arab. Telah diceritakan dalam kitab Syarah al-Wasith bahwa Umar bin Khattab akan menikahkan anak perempuannya kepada Salman al-Farisi,
kemudian berita tersebut sampai kepada Amr bin Ash, dan beliau berkata kepada Salman:
Saya lebih setara (sekufu’) dari pada engkau.
Maka Salman berkata:
Bergembiralah engkau.
Dan selanjutnya dengan sikap tawadhu’ Salman berkata: Demi Allah, saya tidak akan menikah dengan dia selamanya.
Ketika Salman al-Farisi hendak sholat bersama
Jarir, salah satu sahabatnya yang berasal dari bangsa Arab, Salman dipersilahkan menjadi imam sholat, kemudian Salman al-Farisi berkata:
‘Tidak! engkaulah yang harus menjadi imam. Wahai bangsa Arab, sesungguhnya kami tidak boleh mengimami kamu dalam sholat dan tidak
boleh menikahi wanita-wanita kamu. Sesungguhnya Allah swt telah memelihara kamu atas kami disebabkan kemuliaan Muhammad saw yang telah
diciptakan dari kalangan kamu’. Dalam riwayat lain dari Salman al-Farisi:
نهانا رسول الله أن نتقدم أمامكم أو ننكح نساءكم
“Sesungguhnya Rasulullah telah melarang kami untuk memimpin (mengimami) kamu atau menikahi wanita-wanita kamu.”
Dari hadits tersebut jelaslah bahwa di kalangan wanita Arab telah ada kafa’ah nasab dalam perkawinan. Hal tersebut dibuktikan oleh penolakan Salman al-Farisi yang berasal dari Persi (Ajam) ketika hendak dinikahkan dengan wanita Arab. Jika dalam pernikahan wanita Arab dengan lelaki non Arab saja telah ada kafa’ah, apalagi halnya dengan kafa’ah dalam pernikahan antara syarifah dimana mereka adalah wanita Arab yang mempunyai kemuliaan dan keutamaan. Kemuliaan dan keutamaan yang
didapatkan tersebut dikarenakan mereka adalah keturunan Rasulullah saw.
Sedangkan hadits Rasulullah yang memberikan dasar pelaksanaan kafa’ah syarifah adalah hadits tentang peristiwa pernikahan Siti Fathimah dengan Ali bin
Abi Thalib, sebagaimana kita telah ketahui bahwa mereka berdua adalah manusia suci yang telah dinikahkan Rasulullah saw berdasarkan wahyu
Allah swt . Dalam kitab Makarim al-Akhlaq terdapat hadits yang berbunyi:
إنما
انا بشر مثلكم أتزوّج فيكم وأزوّجكم إلا فاطمة فإن تزويجها نزل من
السّماء , ونظر رسول الله إلى أولاد علي وجعفر فقال بناتنا لبنينا وبنونا
لبناتنا
“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa
yang kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan anakku Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah yang diturunkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah swt). Kemudian Rasulullah memandang kepada anak-anak Ali dan anak-anak Ja’far, dan beliau berkata : Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami”.
Menurut hadits di atas dapat kita ketahui bahwa: Anak-anak perempuan kami (syarifah) menikah dengan anak-anak laki kami (sayid/syarif), begitu pula
sebaliknya anak-anak laki kami (sayid/syarif) menikah dengan anak-anak perempuan kami (syarifah). Berdasarkan hadits ini jelaslah bahwa pelaksanaan kafa’ah yang dilakukan oleh para keluarga Alawiyin didasari oleh perbuatan rasul, yang dicontohkannya dalam menikahkan anak puterinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyin menjaga anak puterinya untuk tetap
menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini.
Di zaman Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf, oleh para keluarga Alawiyin beliau diangkat menjadi ‘Naqib al-Alawiyin’ yang salah satu tugas khususnya adalah menjaga agar keluarga Alawiyin menikahkan putrinya dengan lelaki yang sekufu’. Mustahil jika ulama Alawiyin seperti Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam, Syekh Abdurahman al-Saqqaf, Syekh Umar Muhdhar, Syekh Abu Bakar Sakran, Syekh Abdullah Alaydrus, Syekh Ali bin Abi Bakar Sakran dan lainnya, melaksanakan pernikahan yang sekufu’ antara syarifah dengan sayid hanya berdasarkan dan mengutamakan adat semata-mata dengan meninggalkan ajaran datuknya Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah bagi umat, padahal mereka bukan saja mengetahui hal-hal yang zhohir tapi juga mengetahui hal-hal bathin yang didapat karena kedekatan mereka dengan Allah swt.
Para ulama Alawiyin mempunyai sifat talazum (tidak menyimpang) dari alquran dan seruannya, mereka tidak akan berpisah meninggalkan alquran sampai
hari kiamat sebagaimana hadits menyebutkan mereka sebagai padanan alquran, dan mereka juga sebagai bahtera penyelamat serta sebagai pintu pengampunan. Rasulullah mensifatkan mereka ibarat bingkai yang menyatukan umat ini. Berpegang pada mereka dan berjalan di atas jalan mereka adalah jaminan keselamatan dan tidak adanya perpecahan serta perselisihan, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
النجوم أمان لأهل السماء وأهل بيتي أمان لأهل العرض
“Bintang-bintang adalah sebagai pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam (di lautan)
dan ahlil baitku sebagai pengaman bagi penduduk bumi (dari perselisihan)”.
Tidaklah alquran memperkenalkan mereka kepada umat, melainkan agar umat itu memahami kedudukan mereka (dalam Islam) serta agar umat mengikuti dan menjadikan mereka rujukan dalam
memahami syariah, mengambil hukum-hukumnya dari mereka. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam syairnya menulis:
Ahlul Bait Musthofa, mereka adalah orang-orang suci
Mereka pemberi keamanan di muka bumi
Mereka ibarat bintang-bintang yang bercahaya
Demikianlah sunnatullah yang telah ditentukan
Mereka ibarat bahtera penyelamat dari segala topan (bahaya) yang menyusahkan Maka menyelamatkan dirilah kepadanya Dan berpegang teguhlah kepada Allah swt serta memohon pertolongan-Nya
Wahai Tuhanku, jadikanlah kami orang yang berguna atas berkah mereka. Tunjukkanlah kepada kami kebaikan dengan kehormatan mereka Cabutlah nyawa kami di atas jalan mereka Dan selamatkanlah kami dari berbagai macam fitnah.
Kepada siapapun yang mempunyai pikiran bahwa ulama Alawiyin yang melaksanakan pernikahan antara syarifah dengan sayid berdasarkan adat semata-mata,
dianjurkan untuk beristighfar dan mengkaji kembali mengapa para ulama Alawiyin mewajibkan pernikahan tersebut, hal itu bertujuan agar kemuliaan dan keutamaan mereka sebagai keturunan Rasulullah saw yang telah ditetapkan dalam alquran dan hadits Nabi saw, tetap berada pada diri mereka. Sebaliknya, jika telah terjadi pernikahan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayid, maka anak keturunan selanjutnya adalah bukan sayid, hal itu disebabkan karena anak mengikuti garis ayahnya, akibatnya keutamaan serta kemuliaan yang khusus dikarunia oleh Allah swt
untuk ahlul bait dan keturunannya tidak dapat disandang oleh anak cucu keturunan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid.
Hadits-hadits lain yang menjadi dasar pelaksanaan kafa’ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, Al-Hakim dan Rafi’i:
فإنهم عترتي, خلقوا من طينتي ورزقوا فهمي و علمي, فويل للمكذّبين بفضلهم من أمتي القاطعين منهم صلتي لا أنزلهم الله شفاعتي
“…maka mereka itu keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuannku. Celakalah (neraka wail)
bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan
menurunkan syafa’atku.”
Adapun makna yang terkandung dalam hadits ini adalah dalam hal nasab mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan nabi saw kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak dan tidak akan terputus nasab seorang anak kalau bukan
disebabkan perkawinan syarifah dengan lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada nabi saw. Dan jika telah terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas Nabi Muhammad tidak akan memberi syafa’atnya kepada orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah melalui perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan sayid.
Dalam berbagai buku sejarah telah tertulis bahwa khalifah Abu Bakar dan Umar bersungguh-sungguh untuk melamar Siti Fathimah dengan harapan keduanya menjadi menantu nabi. Al-Thabary dalam kitabnya yang berjudul Dzakhairul Uqba halaman 30 mengetengahkan sebuah riwayat, bahwa Abu
Bakar Ash-Shiddiq pernah meminang Siti Fathimah, oleh Rasulullah dijawab: ‘Allah belum menurunkan takdir-Nya’. Demikian pula jawaban Rasulullah kepada Umar bin Khattab ketika meminang Siti Fathimah ra.
Mengapa mereka ingin menjadi menantu nabi? Dua orang sahabat itu meminang Fathimah, semata-mata ingin mempunyai hubungan kekerabatan
dengan Rasulullah dan karena keutamaan-keutamaan yang diperoleh keluarga nabi menyebabkan mereka ingin sekali menjadi menantunya.
Mereka mendengar Rasulullah bersabda:
كلّ نسب وصهر ينقطع يوم القيامة إلا نسبي و صهري
“Semua hubungan nasab dan shihr (kerabat sebab hubungan perkawinan) akan terputus pada hari kiamat kecuali nasab dan shihr-ku”
Al-Baihaqi, Thabrani dan yang lain meriwayatkan bahwa ketika Umar bin Khattab ra meminang puteri Imam Ali ra yang bernama Ummu Kulsum, beliau berkata:
‘Aku tidak menginginkan kedudukan, tetapi saya pernah mendengar Rasulullah saw berkata: ‘Sebab dan nasab akan terputus pada hari kiyamat kecuali
sababku dan nasabku. Semua anak yang dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fathimah, akulah ayah mereka dan kepadaku
mereka bernasab.’ Selanjutnya Umar ra berkata lebih lanjut: Aku adalah sahabat beliau, dan dengan hidup bersama Ummu Kulsum aku ingin memperoleh hubungan sabab dan nasab (dengan Rasulullah saw)’.
Sebuah hal yang ironis, orang lain saja (khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar) ingin menjadi menantu nabi karena ingin mendapatkan keutamaan dan
kemuliaan melalui perkawinan dengan keturunan Rasulullah saw , sebaliknya ada sebagian keturunan Rasulullah yang dengan sengaja melepas
dan menghilangkan keutamaan dan kemuliaan itu pada diri dan keluarganya khususnya kepada keturunannya hanya karena mereka mengikuti
nafsu untuk bebas memilih dan menikahkan anak perempuannya dengan seorang lelaki yang tidak sekufu’ (bukan sayyid).
Seharusnya para keturunan Rasulullah yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukurnya kepada Allah, karena melalui kakeknya Nabi Muhammad saw
mereka menjadi manusia yang memiliki keutamaan dan kemuliaan, bukan sebaliknya mereka kufur ni’mat atas apa yang mereka telah dapatkan dengan melepas keutamaan dan kemuliaan diri dan keturunannya melalui pernikahan yang mengabaikan kafa’ah nasab dalam perkawinan anak dan saudara perempuannya, yaitu dengan mengawinkan anak dan saudara
perempuannya sebagai seorang syarifah dengan lelaki yang bukan sayyid.
Sebelum pernikahan kedua manusia suci itu, Siti Fathimah pernah dilamar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lamaran tersebut tidak diterima oleh Rasulullah
dengan alasan Allah swt belum menurunkan wahyu-Nya untuk menikahkan Siti Fathimah. Begitu pula dengan Umar bin Khattab, beliau juga melamar
Siti Fathimah, akan tetapi lamaran itu pun tidak diterima Rasulullah dengan alasan yang sama ketika menolak lamaran Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Akan tetapi ketika Ali bin Abi Thalib melamar Siti Fathimah kepada Rasulullah, saat itu juga Rasulullah menerima lamaran Ali bin Abi Thalib dan Rasulullah berkata: ‘Selamat wahai Ali, karena Allah telah
menikahkanmu dengan putriku Fathimah’.
Secara selintas memang peristiwa tersebut merupakan pernikahan biasa yang dialami nabi
sebagai seorang ayah, dan sebagai utusan Allah yang senantiasa menerima wahyu dari Tuhannya. Akan tetapi dibalik peristiwa itu, terkandung nilai-nilai yang disampaikan Allah kepada nabinya yaitu berupa hukum kafa’ah dalam perkawinan keluarga Rasulullah, dimana Allah mensyariatkan pernikahan Imam Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah yang keduanya
mempunyai hubungan darah dengan Rasulullah dan mempunyai keutamaan ganda yang tidak dimiliki oleh Abu Bakar dan Umar . Mereka adalah ahlul bait, dimana Allah telah menghilangkan dari segala macam kotoran dan membersihkan mereka dengan sesuci-sucinya.
Generasi Nabi saw lahir dari putrinya Fathimah ra. Beliau sangat mencintai mereka, al-Hasan dan al-Husein disebut sebagai anaknya sendiri, bahkan kepada menantunya, suami dari Fathimah ra, Rasulullah saw mengatakan:
‘Seandainya Ali bin Abi Thalib tidak lahir ke bumi maka Fathimah tidak akan mendapatkan suami yang sepadan (sekufu’), demikian pula halnya dengan
Ali, bila Fathimah tidak dilahirkan maka Ali bin Abi Thalib tidak pula akan menemukan istri yang sepadan (sekufu’), mereka dan anak-anaknya diriku dan diriku adalah diri mereka’
Abu Abdillah Ja’far al-Shaddiq, mengatakan, ‘Seandainya Allah tidak menjadikan Amirul
Mukminin (Imam Ali) maka tidak ada yang sepadan (sekufu’) bagi Fathimah di muka bumi, sejak Adam dan seterusnya’.
Para ulama seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafii dalam masalah kafa’ah sependapat dengan pendapat khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan:
لأمنعن فزوج ذوات الأحساب إلا من الأكفاء
“Aku melarang wanita-wanita dari keturunan mulia (syarifah) menikah dengan lelaki yang tidak setaraf dengannya”.
Menurut mazhab Syafii, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, seorang wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki dari
selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya dengan selain Bani Hasyim, maka mereka itu berdosa. Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
‘Wanita keturunan mulia (syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan lelaki yang tidak sekufu’, maka ia berhak membatalkan. Bahwa wanita (syarifah) hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita (syarifah) itu sendiri ridho menerima laki-laki yang
tidak sekufu’, maka keridhaan mereka tidak sah’.
Seorang ulama yang terkenal yang dianggap pendobrak kebekuan pemikiran kaum muslimin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang
seorang Syarif yang putrinya dikawinkan dengan seorang bukan Syarif padahal si ayah tidak setuju, apakah nikah tersebut sah ? Ibnu Taimiyah
menjawab:
‘Kafaah dalam hal nasab tidak merupakan persyaratan bagi Imam Malik. Adapun menurut Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad –dalam salah satu riwayat darinya– kafaah adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kafu, sahlah nikah
mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafaah adalah ‘hak Allah’ dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafaah’.
Dalam kitabnya Bughya al-Mustarsyidin, sayid Abdurahman bin Muhammad bin Husein al-Masyhur, berkata:
‘Seorang syarifah yang dipinang oleh orang selain laki-laki keturunan Rasulullah, maka aku tidak melihat diperbolehkannya pernikahan tersebut.
Walaupun wanita keturunan Ahlul Bait Nabi saw dan walinya yang terdekat merestui. Ini dikarenakan nasab yang mulia tersebut tidak bisa
diraih dan disamakan. Bagi setiap kerabat yang dekat ataupun jauh dari keturunan sayyidah Fatimah al-Zahra adalah lebih berhak menikahi wanita keturunan Ahlul Bait Nabi tersebut’.
Selanjutnya beliau berkata:
‘Meskipun para fuqaha mengesahkan perkawinannya, bila perempuan itu ridho dan walinya juga ridho, akan tetapi para fuqaha leluhur kami mempunyai
pilihan yang para ahli fiqih lain tidak mampu menangkap rahasianya, maka terima sajalah kamu pasti selamat dan ambillah pendapatnya, jika kamu
bantah akan rugi dan menyesal’.
Dijelaskan oleh Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi):
‘Dalam perkara kafa’ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sekufu’ apalagi perempuan itu seorang syarifah maka
yang bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah namun para ulama ahlul bait mempunyai ijtihad dan
ikhtiar dalam perkara syara’ yang tiada di dapati oleh para fakih lain.
Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan pernikahan wanita keturunan ahlul bait nabi SAW, sebaiknya menjauhkan diri dari memfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain dari keturunan Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun
ridha. Hal ini berlaku secara umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid’.
Selanjutnya beliau berkata:
‘Daripada yang menjadi godaan yang menyakitkan hati Sayidatuna Fathimah dan sekalian keluarga daripada sayid, yaitu bahwa seorang yang bukannya dia daripada bangsa sayid Bani Alawi, ia beristerikan syarifah daripada bangsa Bani Alawi, demikian juga orang yang memfatwakan harus dinikahkannya, demikian juga orang yang menjadi perantaranya pernikahan itu, karena sekaliannya itu telah menyakitkan Sayidatuna Fathimah dan anak cucunya keluarga Rasulullah saw’.
Mufti Makkah al-Mukarromah, sayid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf , menjelaskan dalam kitabnya Tarsyih al-Mustafidin Khasiyah Fath al-Mu’in:
‘Dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah disebutkan bahwa tidak ada satupun anak keturunan Bani Hasyim yang sederajat (sekufu’) dengan anak keturunan
Siti Fathimah. Hal ini disebabkan kekhususan Rasulullah saw, karena anak keturunan dari anak perempuannya (Siti Fathimah) bernasab kepada
beliau dalam hal kafa’ah dan lainnya.”
Pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama keturunan Rasulullah saw tersebut merupakan dalil hukum syariat yang dapat dijadikan pedoman dalam
pernikahan seorang syarifah. Mengapa demikian ? Dikarenakan mereka adalah hujjah-hujjah Ilahi yang berusaha menjaga umat ini dan memelihara kelurusan terhadap penyimpangan dari aspek-aspek ibadah dan
lain-lain. Oleh karena itu, umat ini seyogyanya berpegang teguh kepada mereka serta tidak mendahului dan tidak mengabaikan mereka. Orang yang bersandar dan mengikuti mereka tidak akan tersesat, sebagaimana tidak akan tersesat orang yang bersandar pada alquran, hal tersebut adalah
jaminan Rasulullah kepada ummatnya, sebagaimana sabda beliau saw yang dinamakan dengan hadits al-Tsaqalain:
‘Kepada kalian kutinggalkan sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya
sepeninggalanku kalian tak akan tersesat: Kitab Allah sebagai tali yang terentang dari langit sampai ke bumi, dan keturunanku, ahlul baitku.
Dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh (sorga). Perhatikanlah kedua hal itu dalam kalian meneruskan kepemimpinanku’.
Mengenai ucapan Rasulullah saw,
‘Dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh’ dan ucapan beliau, ‘jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku
kalian tak akan tersesat’, yang dimaksud adalah para ulama yang berasal dari keturunan ahlul bait, tidak berlaku bagi orang-orang selain mereka. Mereka mempunyai keistimewaan sebagai teladan dan berada pada martabat lebih tinggi daripada yang tidak mempunyai keistimewaan sebagai teladan. Kita wajib berteladan kepada ulama dari kalangan
mereka, dengan menimba dan menghayati ilmu-ilmu mereka yang telah dijamin oleh Allah swt.
Rasulullah saw dengan ucapannya menunjuk anggota-anggota keluarga keturunan beliau, dikarenakan mereka mempunyai keistimewaan dapat memahami apa yang diperlukan (hikmah-hikmah yang terkandung dalam suatu perkara, yang tidak dapat
dipahami oleh ulama selain mereka). Sebab kebaikan unsur penciptaan yang ada pada mereka dapat melahirkan kebaikan akhlaq, dan kebaikan
akhlaq akan menciptakan kebersihan dan kesucian hati. Manakala hati telah bersih dan suci ia akan memberikan cahaya terang dan dengan
cahaya itu dada akan menjadi lebih cerah. Semuanya itu merupakan kekuatan bagi mereka dalam usahanya memahami apa yang harus dilakukan menurut perintah syariat. Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang berjudul al-Aqidah al-Wasithiyah memberi tanggapan terhadap hadits tsaqalain sebagai berikut:
‘Dua kalimat hadis tsaqalain yang menyatakan ‘dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh’, dan ‘jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat’, hal tersebut tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulullah saw saja, melainkan berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari keluarga keturunan beliau, baik yang awam maupun yang khawas, yang menjadi Imam maupun yang tidak’.
Perkataan Ibnu Taimiyah semakin menjelaskan bahwa masalah kafa’ah yang dilaksanakan oleh para keturunan Rasulullah, baik ia seorang ulama ataupun ia seorang awam, di mana status mereka sebagai padanan alquran, bukanlah suatu yang bertentangan
dengan ajaran Islam atau berdasar kepada adat semata-mata.
Disamping itu, hal itu dilakukan berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam alquran, diantaranya surat Surat Muhammad ayat 22-23 yang berbunyi:
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan ?. Mereka itulah orang-orang
yang dila’nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”.
Sebagai pelengkap uraian di atas, seorang hakim pengadilan Mesir memfasakhkan pernikahan
seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid seperti yang terdapat dalam Fatawa al-Manar, Juz VII, hal 447 ditulis:
‘Sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus peradilan di Mesir pada sekitar tahun 1904, mengenai perkawinan Syekh Ali Yusuf, pemimpin majalah al-Mu’ayyad dengan sayidah Shofiyah binti sayid Abdul Khaliq al-Saadat. Hakim syar’i menetapkan batalnya akad berdasarkan tidak adanya kafa’ah.
Karena si perempuan dari golongan Alawiyah sedang syekh Ali Yusuf bukan orang Alawi’.
Sungguh patut disesalkan jika seseorang
dalam suatu pernikahan mengangkat wali kuasa sebagai wali nikah (wali hakim) dan dengan sengaja menikahkan wanita tersebut tanpa seizin wali
terdekatnya, apalagi tidak sekufu’ serta seorang syarifah yang kawin lari dengan laki-laki yang bukan sayid dikarenakan orang tua mereka
tidak menyetujui pernikahan tersebut. Tindakan tersebut merupakan suatu hal yang mengganggu Rasulullah SAW dan menyakitinya apabila terjadi
suatu perkawinan terhadap putri-putri dari keturunan beliau dengan tanpa pertimbangan kafa’ah terlebih dahulu, melalaikan amanat dan tidak
memperhatikan serta tidak menjaga perihal hubungan nasab keturunan beliau. Sehubungan dengan itu, Allah swt berfirman dalam Alquran:
“Tidak boleh bagi kalian menyakiti diri Rasulullah saw dan tidak boleh mengawini isteri-isterinya selama-lamanya setelah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar dosanya di sisi Allah swt”.
Dari ayat tersebut kita dapat memahami dan mengambil kesimpulan, bahwa apabila isteri-isteri Nabi saw saja dilarang bagi orang-orang lain untuk
mengawini mereka karena dianggap akan mengganggu Rasulullah saw, di mana ikatan mereka dengan Rasul karena adanya hubungan pernikahan,
apalagi terhadap anak cucu beliau yang bersambung karena hubungan nasab, darah dan kefamilian.
Jika kita membaca sejarah, ketika anak perempuan Abu Lahab meninggalkan orang tuanya dan hijrah ke
Madinah, beberapa orang dari kaum muslimin berpendapat bahwa hijrah mereka ke Madinah tidak ada gunanya sama sekali, karena orang tua mereka
adalah umpan api neraka. Ketika anak perempuan Abu Lahab melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah, beliau bersabda:
“Kenapa masih ada orang-orang yang masih menggangguku melalui nasab dan kerabatku? Barang siapa mengganggu nasabku dan kaum kerabatku berarti ia menggangguku, barang siapa menggangguku berarti ia mengganggu Allah
SWT”.
Begitu pula sabda Rasulullah saw:
“Amat keras murka Allah swt atas orang-orang yang menyakiti aku di dalam hal keturunanku
Pada dasarnya ayat-ayat Alquran yang menyebutkan keutamaan dan kemuliaan
ahlul bait secara umum merupakan dalil yang mendasari pelaksanaan
kafa’ah dalam perkawinan syarifah. Begitu pula dengan ayat yang terdapat
dalam alquran surat al-An’am ayat 87, berbunyi:
ومن أبآئهم وذرّيّتهم وإخوانهم …
“(dan kami lebihkan pula derajat) sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka…”
Ayat di atas jelas memberitahukan bahwa antara keturunan para nabi, (khususnya keturunan nabi Muhammad saw), dengan keturunan lainnya terdapat perbedaan derajat keutamaan dan kemuliaan, hal ini didasari oleh sabda Rasulullah saw yang ditulis dalam kitab Yanabbi’ al-Mawwadah:
نحن اهل البيت لا يقاس بنا
“Kami Ahlul Bait tidaklah bisa dibandingkan dengan siapapun”.
Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahj al-Balaghoh berkata, ‘Tiada seorang pun dari umat ini dapat dibandingkan dengan keluarga Muhammad
saw’. Imam Ali mengatakan bahwa tiada orang di dunia ini yang setaraf (sekufu’) dengan mereka, tiada pula orang yang dapat dianggap sama dengan mereka dalam hal kemuliaan.
Turmudzi meriwayatkan
sebuah hadits berasal dari Abbas bin Abdul Mutthalib, ketika Rasulullah ditanya tentang kemuliaan silsilah mereka, beliau menjawab:
ان
الله خلق الخلق فجعلني في خيرهم من خيرهم قرنا ثم تخير القبائل فجعلني من
خير قبيلة ثم تخير البيوت فجعلني من خيربيوتهم فأنا خيرهم نفسا و خيرهم
بيتا
“Allah menciptakan manusia dan telah menciptakan
diriku yang berasal dari jenis kelompok manusia terbaik pada waktu yang terbaik. Kemudian Allah menciptakan kabilah-kabilah terbaik, dan menjadikan diriku dari kabilah yang terbaik. Lalu Allah menciptakan keluarga-keluarga terbaik dan menjadikan diriku dari keluarga yang paling baik. Akulah orang yang terbaik di kalangan mereka, baik dari segi pribadi maupun dari segi silsilah“.
Baihaqi, Abu Nu’aim dan Tabrani meriwayatkan dari Aisyah, Disebutkan bahwa Jibril as pernah berkata:
قال لى جبريل : قلبت مشارق الارض ومغاربها فلم أجد رجلا افضل من محمد وقلبت مشارق الارض ومغاربها فلم أجد بنى أب أفضل من بني هلشم
“Jibril berkata kepadaku: Aku membolak balikkan bumi, antara Timur dan Barat,tetapi aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama daripada Muhammad saw dan akupun tidak melihat keturunan yang lebih utama daripada keturunan Bani Hasyim”.
Dalam Alquran disebutkan bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.
Sebagai contoh para sahabat nabi, mereka adalah orang-orang yang mulia walaupun mereka bukan dari kalangan ahlul bait. Memang benar, bahwa
mereka semuanya sama-sama bertaqwa, taat dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Persamaan keutamaan itu disebabkan oleh amal kebajikannya
masing-masing. Akan tetapi ada keutamaan yang tidak mungkin dimiliki oleh para sahabat nabi yang bukan ahlul bait. Sebab para anggota ahlulbait secara kodrati dan menurut fitrahnya telah mempunyai keutamaan karena hubungan darah dan keturunan dengan manusia pilihan Allah yaitu nabi Muhammad saw. Hubungan biologis itu merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal dan tidak mungkin dapat diimbangi oleh orang lain.
Lebih-lebih lagi setelah turunnya firman Allah swt dalam surah Al-Ahzab
ayat 33 yang berbunyi:
إنّما يريد الله ليذهب عنكم الرّجس اهل البيت ويطهّركم تطهيرا
“Sesungguhnya Allah swt bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlu al-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Di samping itu Rasulullah saw telah menegaskan dalam sabdanya:
ياأيهاالناس إن الفضل والشرف والمنزلة والولاية لرسول الله وذريته فلا تذ هبن الأباطيل
“Hai manusia bahwasanya keutamaan, kemuliaan, kedudukan dan kepemimpinan ada pada Rasulullah Rasulullah dan keturunannya. Janganlah kalian
diseret oleh kebatilan”.
Walaupun para ahlil bait Rasulullah menurut dzatnya telah mempunyai keutamaan, namun Rasulullah
tetap memberi dorongan kepada mereka supaya memperbesar ketaqwaan kepada Allah swt, jangan sampai mereka mengandalkan begitu saja
hubungannya dengan beliau. Karena hubungan suci dan mulia itu saja tanpa disertai amal saleh tidak akan membawa mereka kepada martabat yang setinggi-tingginya di sisi Allah.
Dengan keutamaan dzatiyah dan keutamaan amaliyah, para ahlul bait dan keturunan rasul
memiliki keutamaan ganda, keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Keutamaan ganda itulah (khususnya keutamaan dzatiyah) yang mendasari pelaksanaan kafa’ah di kalangan keturunan Rasullulah.
Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai kafa’ah syarifah, marilah kita perhatikan hadits yang menceritakan tentang adanya kafa’ah di kalangan
wanita Arab. Telah diceritakan dalam kitab Syarah al-Wasith bahwa Umar bin Khattab akan menikahkan anak perempuannya kepada Salman al-Farisi,
kemudian berita tersebut sampai kepada Amr bin Ash, dan beliau berkata kepada Salman:
Saya lebih setara (sekufu’) dari pada engkau.
Maka Salman berkata:
Bergembiralah engkau.
Dan selanjutnya dengan sikap tawadhu’ Salman berkata: Demi Allah, saya tidak akan menikah dengan dia selamanya.
Ketika Salman al-Farisi hendak sholat bersama
Jarir, salah satu sahabatnya yang berasal dari bangsa Arab, Salman dipersilahkan menjadi imam sholat, kemudian Salman al-Farisi berkata:
‘Tidak! engkaulah yang harus menjadi imam. Wahai bangsa Arab, sesungguhnya kami tidak boleh mengimami kamu dalam sholat dan tidak
boleh menikahi wanita-wanita kamu. Sesungguhnya Allah swt telah memelihara kamu atas kami disebabkan kemuliaan Muhammad saw yang telah
diciptakan dari kalangan kamu’. Dalam riwayat lain dari Salman al-Farisi:
نهانا رسول الله أن نتقدم أمامكم أو ننكح نساءكم
“Sesungguhnya Rasulullah telah melarang kami untuk memimpin (mengimami) kamu atau menikahi wanita-wanita kamu.”
Dari hadits tersebut jelaslah bahwa di kalangan wanita Arab telah ada kafa’ah nasab dalam perkawinan. Hal tersebut dibuktikan oleh penolakan Salman al-Farisi yang berasal dari Persi (Ajam) ketika hendak dinikahkan dengan wanita Arab. Jika dalam pernikahan wanita Arab dengan lelaki non Arab saja telah ada kafa’ah, apalagi halnya dengan kafa’ah dalam pernikahan antara syarifah dimana mereka adalah wanita Arab yang mempunyai kemuliaan dan keutamaan. Kemuliaan dan keutamaan yang
didapatkan tersebut dikarenakan mereka adalah keturunan Rasulullah saw.
Sedangkan hadits Rasulullah yang memberikan dasar pelaksanaan kafa’ah syarifah adalah hadits tentang peristiwa pernikahan Siti Fathimah dengan Ali bin
Abi Thalib, sebagaimana kita telah ketahui bahwa mereka berdua adalah manusia suci yang telah dinikahkan Rasulullah saw berdasarkan wahyu
Allah swt . Dalam kitab Makarim al-Akhlaq terdapat hadits yang berbunyi:
إنما
انا بشر مثلكم أتزوّج فيكم وأزوّجكم إلا فاطمة فإن تزويجها نزل من
السّماء , ونظر رسول الله إلى أولاد علي وجعفر فقال بناتنا لبنينا وبنونا
لبناتنا
“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa
yang kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan anakku Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah yang diturunkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah swt). Kemudian Rasulullah memandang kepada anak-anak Ali dan anak-anak Ja’far, dan beliau berkata : Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami”.
Menurut hadits di atas dapat kita ketahui bahwa: Anak-anak perempuan kami (syarifah) menikah dengan anak-anak laki kami (sayid/syarif), begitu pula
sebaliknya anak-anak laki kami (sayid/syarif) menikah dengan anak-anak perempuan kami (syarifah). Berdasarkan hadits ini jelaslah bahwa pelaksanaan kafa’ah yang dilakukan oleh para keluarga Alawiyin didasari oleh perbuatan rasul, yang dicontohkannya dalam menikahkan anak puterinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyin menjaga anak puterinya untuk tetap
menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini.
Di zaman Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf, oleh para keluarga Alawiyin beliau diangkat menjadi ‘Naqib al-Alawiyin’ yang salah satu tugas khususnya adalah menjaga agar keluarga Alawiyin menikahkan putrinya dengan lelaki yang sekufu’. Mustahil jika ulama Alawiyin seperti Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam, Syekh Abdurahman al-Saqqaf, Syekh Umar Muhdhar, Syekh Abu Bakar Sakran, Syekh Abdullah Alaydrus, Syekh Ali bin Abi Bakar Sakran dan lainnya, melaksanakan pernikahan yang sekufu’ antara syarifah dengan sayid hanya berdasarkan dan mengutamakan adat semata-mata dengan meninggalkan ajaran datuknya Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah bagi umat, padahal mereka bukan saja mengetahui hal-hal yang zhohir tapi juga mengetahui hal-hal bathin yang didapat karena kedekatan mereka dengan Allah swt.
Para ulama Alawiyin mempunyai sifat talazum (tidak menyimpang) dari alquran dan seruannya, mereka tidak akan berpisah meninggalkan alquran sampai
hari kiamat sebagaimana hadits menyebutkan mereka sebagai padanan alquran, dan mereka juga sebagai bahtera penyelamat serta sebagai pintu pengampunan. Rasulullah mensifatkan mereka ibarat bingkai yang menyatukan umat ini. Berpegang pada mereka dan berjalan di atas jalan mereka adalah jaminan keselamatan dan tidak adanya perpecahan serta perselisihan, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
النجوم أمان لأهل السماء وأهل بيتي أمان لأهل العرض
“Bintang-bintang adalah sebagai pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam (di lautan)
dan ahlil baitku sebagai pengaman bagi penduduk bumi (dari perselisihan)”.
Tidaklah alquran memperkenalkan mereka kepada umat, melainkan agar umat itu memahami kedudukan mereka (dalam Islam) serta agar umat mengikuti dan menjadikan mereka rujukan dalam
memahami syariah, mengambil hukum-hukumnya dari mereka. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam syairnya menulis:
Ahlul Bait Musthofa, mereka adalah orang-orang suci
Mereka pemberi keamanan di muka bumi
Mereka ibarat bintang-bintang yang bercahaya
Demikianlah sunnatullah yang telah ditentukan
Mereka ibarat bahtera penyelamat dari segala topan (bahaya) yang menyusahkan Maka menyelamatkan dirilah kepadanya Dan berpegang teguhlah kepada Allah swt serta memohon pertolongan-Nya
Wahai Tuhanku, jadikanlah kami orang yang berguna atas berkah mereka. Tunjukkanlah kepada kami kebaikan dengan kehormatan mereka Cabutlah nyawa kami di atas jalan mereka Dan selamatkanlah kami dari berbagai macam fitnah.
Kepada siapapun yang mempunyai pikiran bahwa ulama Alawiyin yang melaksanakan pernikahan antara syarifah dengan sayid berdasarkan adat semata-mata,
dianjurkan untuk beristighfar dan mengkaji kembali mengapa para ulama Alawiyin mewajibkan pernikahan tersebut, hal itu bertujuan agar kemuliaan dan keutamaan mereka sebagai keturunan Rasulullah saw yang telah ditetapkan dalam alquran dan hadits Nabi saw, tetap berada pada diri mereka. Sebaliknya, jika telah terjadi pernikahan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayid, maka anak keturunan selanjutnya adalah bukan sayid, hal itu disebabkan karena anak mengikuti garis ayahnya, akibatnya keutamaan serta kemuliaan yang khusus dikarunia oleh Allah swt
untuk ahlul bait dan keturunannya tidak dapat disandang oleh anak cucu keturunan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid.
Hadits-hadits lain yang menjadi dasar pelaksanaan kafa’ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, Al-Hakim dan Rafi’i:
فإنهم عترتي, خلقوا من طينتي ورزقوا فهمي و علمي, فويل للمكذّبين بفضلهم من أمتي القاطعين منهم صلتي لا أنزلهم الله شفاعتي
“…maka mereka itu keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuannku. Celakalah (neraka wail)
bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan
menurunkan syafa’atku.”
Adapun makna yang terkandung dalam hadits ini adalah dalam hal nasab mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan nabi saw kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak dan tidak akan terputus nasab seorang anak kalau bukan
disebabkan perkawinan syarifah dengan lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada nabi saw. Dan jika telah terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas Nabi Muhammad tidak akan memberi syafa’atnya kepada orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah melalui perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan sayid.
Dalam berbagai buku sejarah telah tertulis bahwa khalifah Abu Bakar dan Umar bersungguh-sungguh untuk melamar Siti Fathimah dengan harapan keduanya menjadi menantu nabi. Al-Thabary dalam kitabnya yang berjudul Dzakhairul Uqba halaman 30 mengetengahkan sebuah riwayat, bahwa Abu
Bakar Ash-Shiddiq pernah meminang Siti Fathimah, oleh Rasulullah dijawab: ‘Allah belum menurunkan takdir-Nya’. Demikian pula jawaban Rasulullah kepada Umar bin Khattab ketika meminang Siti Fathimah ra.
Mengapa mereka ingin menjadi menantu nabi? Dua orang sahabat itu meminang Fathimah, semata-mata ingin mempunyai hubungan kekerabatan
dengan Rasulullah dan karena keutamaan-keutamaan yang diperoleh keluarga nabi menyebabkan mereka ingin sekali menjadi menantunya.
Mereka mendengar Rasulullah bersabda:
كلّ نسب وصهر ينقطع يوم القيامة إلا نسبي و صهري
“Semua hubungan nasab dan shihr (kerabat sebab hubungan perkawinan) akan terputus pada hari kiamat kecuali nasab dan shihr-ku”
Al-Baihaqi, Thabrani dan yang lain meriwayatkan bahwa ketika Umar bin Khattab ra meminang puteri Imam Ali ra yang bernama Ummu Kulsum, beliau berkata:
‘Aku tidak menginginkan kedudukan, tetapi saya pernah mendengar Rasulullah saw berkata: ‘Sebab dan nasab akan terputus pada hari kiyamat kecuali
sababku dan nasabku. Semua anak yang dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fathimah, akulah ayah mereka dan kepadaku
mereka bernasab.’ Selanjutnya Umar ra berkata lebih lanjut: Aku adalah sahabat beliau, dan dengan hidup bersama Ummu Kulsum aku ingin memperoleh hubungan sabab dan nasab (dengan Rasulullah saw)’.
Sebuah hal yang ironis, orang lain saja (khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar) ingin menjadi menantu nabi karena ingin mendapatkan keutamaan dan
kemuliaan melalui perkawinan dengan keturunan Rasulullah saw , sebaliknya ada sebagian keturunan Rasulullah yang dengan sengaja melepas
dan menghilangkan keutamaan dan kemuliaan itu pada diri dan keluarganya khususnya kepada keturunannya hanya karena mereka mengikuti
nafsu untuk bebas memilih dan menikahkan anak perempuannya dengan seorang lelaki yang tidak sekufu’ (bukan sayyid).
Seharusnya para keturunan Rasulullah yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukurnya kepada Allah, karena melalui kakeknya Nabi Muhammad saw
mereka menjadi manusia yang memiliki keutamaan dan kemuliaan, bukan sebaliknya mereka kufur ni’mat atas apa yang mereka telah dapatkan dengan melepas keutamaan dan kemuliaan diri dan keturunannya melalui pernikahan yang mengabaikan kafa’ah nasab dalam perkawinan anak dan saudara perempuannya, yaitu dengan mengawinkan anak dan saudara
perempuannya sebagai seorang syarifah dengan lelaki yang bukan sayyid.
Sebelum pernikahan kedua manusia suci itu, Siti Fathimah pernah dilamar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lamaran tersebut tidak diterima oleh Rasulullah
dengan alasan Allah swt belum menurunkan wahyu-Nya untuk menikahkan Siti Fathimah. Begitu pula dengan Umar bin Khattab, beliau juga melamar
Siti Fathimah, akan tetapi lamaran itu pun tidak diterima Rasulullah dengan alasan yang sama ketika menolak lamaran Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Akan tetapi ketika Ali bin Abi Thalib melamar Siti Fathimah kepada Rasulullah, saat itu juga Rasulullah menerima lamaran Ali bin Abi Thalib dan Rasulullah berkata: ‘Selamat wahai Ali, karena Allah telah
menikahkanmu dengan putriku Fathimah’.
Secara selintas memang peristiwa tersebut merupakan pernikahan biasa yang dialami nabi
sebagai seorang ayah, dan sebagai utusan Allah yang senantiasa menerima wahyu dari Tuhannya. Akan tetapi dibalik peristiwa itu, terkandung nilai-nilai yang disampaikan Allah kepada nabinya yaitu berupa hukum kafa’ah dalam perkawinan keluarga Rasulullah, dimana Allah mensyariatkan pernikahan Imam Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah yang keduanya
mempunyai hubungan darah dengan Rasulullah dan mempunyai keutamaan ganda yang tidak dimiliki oleh Abu Bakar dan Umar . Mereka adalah ahlul bait, dimana Allah telah menghilangkan dari segala macam kotoran dan membersihkan mereka dengan sesuci-sucinya.
Generasi Nabi saw lahir dari putrinya Fathimah ra. Beliau sangat mencintai mereka, al-Hasan dan al-Husein disebut sebagai anaknya sendiri, bahkan kepada menantunya, suami dari Fathimah ra, Rasulullah saw mengatakan:
‘Seandainya Ali bin Abi Thalib tidak lahir ke bumi maka Fathimah tidak akan mendapatkan suami yang sepadan (sekufu’), demikian pula halnya dengan
Ali, bila Fathimah tidak dilahirkan maka Ali bin Abi Thalib tidak pula akan menemukan istri yang sepadan (sekufu’), mereka dan anak-anaknya diriku dan diriku adalah diri mereka’
Abu Abdillah Ja’far al-Shaddiq, mengatakan, ‘Seandainya Allah tidak menjadikan Amirul
Mukminin (Imam Ali) maka tidak ada yang sepadan (sekufu’) bagi Fathimah di muka bumi, sejak Adam dan seterusnya’.
Para ulama seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafii dalam masalah kafa’ah sependapat dengan pendapat khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan:
لأمنعن فزوج ذوات الأحساب إلا من الأكفاء
“Aku melarang wanita-wanita dari keturunan mulia (syarifah) menikah dengan lelaki yang tidak setaraf dengannya”.
Menurut mazhab Syafii, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, seorang wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki dari
selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya dengan selain Bani Hasyim, maka mereka itu berdosa. Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
‘Wanita keturunan mulia (syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan lelaki yang tidak sekufu’, maka ia berhak membatalkan. Bahwa wanita (syarifah) hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita (syarifah) itu sendiri ridho menerima laki-laki yang
tidak sekufu’, maka keridhaan mereka tidak sah’.
Seorang ulama yang terkenal yang dianggap pendobrak kebekuan pemikiran kaum muslimin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang
seorang Syarif yang putrinya dikawinkan dengan seorang bukan Syarif padahal si ayah tidak setuju, apakah nikah tersebut sah ? Ibnu Taimiyah
menjawab:
‘Kafaah dalam hal nasab tidak merupakan persyaratan bagi Imam Malik. Adapun menurut Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad –dalam salah satu riwayat darinya– kafaah adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kafu, sahlah nikah
mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafaah adalah ‘hak Allah’ dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafaah’.
Dalam kitabnya Bughya al-Mustarsyidin, sayid Abdurahman bin Muhammad bin Husein al-Masyhur, berkata:
‘Seorang syarifah yang dipinang oleh orang selain laki-laki keturunan Rasulullah, maka aku tidak melihat diperbolehkannya pernikahan tersebut.
Walaupun wanita keturunan Ahlul Bait Nabi saw dan walinya yang terdekat merestui. Ini dikarenakan nasab yang mulia tersebut tidak bisa
diraih dan disamakan. Bagi setiap kerabat yang dekat ataupun jauh dari keturunan sayyidah Fatimah al-Zahra adalah lebih berhak menikahi wanita keturunan Ahlul Bait Nabi tersebut’.
Selanjutnya beliau berkata:
‘Meskipun para fuqaha mengesahkan perkawinannya, bila perempuan itu ridho dan walinya juga ridho, akan tetapi para fuqaha leluhur kami mempunyai
pilihan yang para ahli fiqih lain tidak mampu menangkap rahasianya, maka terima sajalah kamu pasti selamat dan ambillah pendapatnya, jika kamu
bantah akan rugi dan menyesal’.
Dijelaskan oleh Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi):
‘Dalam perkara kafa’ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sekufu’ apalagi perempuan itu seorang syarifah maka
yang bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah namun para ulama ahlul bait mempunyai ijtihad dan
ikhtiar dalam perkara syara’ yang tiada di dapati oleh para fakih lain.
Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan pernikahan wanita keturunan ahlul bait nabi SAW, sebaiknya menjauhkan diri dari memfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain dari keturunan Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun
ridha. Hal ini berlaku secara umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid’.
Selanjutnya beliau berkata:
‘Daripada yang menjadi godaan yang menyakitkan hati Sayidatuna Fathimah dan sekalian keluarga daripada sayid, yaitu bahwa seorang yang bukannya dia daripada bangsa sayid Bani Alawi, ia beristerikan syarifah daripada bangsa Bani Alawi, demikian juga orang yang memfatwakan harus dinikahkannya, demikian juga orang yang menjadi perantaranya pernikahan itu, karena sekaliannya itu telah menyakitkan Sayidatuna Fathimah dan anak cucunya keluarga Rasulullah saw’.
Mufti Makkah al-Mukarromah, sayid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf , menjelaskan dalam kitabnya Tarsyih al-Mustafidin Khasiyah Fath al-Mu’in:
‘Dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah disebutkan bahwa tidak ada satupun anak keturunan Bani Hasyim yang sederajat (sekufu’) dengan anak keturunan
Siti Fathimah. Hal ini disebabkan kekhususan Rasulullah saw, karena anak keturunan dari anak perempuannya (Siti Fathimah) bernasab kepada
beliau dalam hal kafa’ah dan lainnya.”
Pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama keturunan Rasulullah saw tersebut merupakan dalil hukum syariat yang dapat dijadikan pedoman dalam
pernikahan seorang syarifah. Mengapa demikian ? Dikarenakan mereka adalah hujjah-hujjah Ilahi yang berusaha menjaga umat ini dan memelihara kelurusan terhadap penyimpangan dari aspek-aspek ibadah dan
lain-lain. Oleh karena itu, umat ini seyogyanya berpegang teguh kepada mereka serta tidak mendahului dan tidak mengabaikan mereka. Orang yang bersandar dan mengikuti mereka tidak akan tersesat, sebagaimana tidak akan tersesat orang yang bersandar pada alquran, hal tersebut adalah
jaminan Rasulullah kepada ummatnya, sebagaimana sabda beliau saw yang dinamakan dengan hadits al-Tsaqalain:
‘Kepada kalian kutinggalkan sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya
sepeninggalanku kalian tak akan tersesat: Kitab Allah sebagai tali yang terentang dari langit sampai ke bumi, dan keturunanku, ahlul baitku.
Dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh (sorga). Perhatikanlah kedua hal itu dalam kalian meneruskan kepemimpinanku’.
Mengenai ucapan Rasulullah saw,
‘Dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh’ dan ucapan beliau, ‘jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku
kalian tak akan tersesat’, yang dimaksud adalah para ulama yang berasal dari keturunan ahlul bait, tidak berlaku bagi orang-orang selain mereka. Mereka mempunyai keistimewaan sebagai teladan dan berada pada martabat lebih tinggi daripada yang tidak mempunyai keistimewaan sebagai teladan. Kita wajib berteladan kepada ulama dari kalangan
mereka, dengan menimba dan menghayati ilmu-ilmu mereka yang telah dijamin oleh Allah swt.
Rasulullah saw dengan ucapannya menunjuk anggota-anggota keluarga keturunan beliau, dikarenakan mereka mempunyai keistimewaan dapat memahami apa yang diperlukan (hikmah-hikmah yang terkandung dalam suatu perkara, yang tidak dapat
dipahami oleh ulama selain mereka). Sebab kebaikan unsur penciptaan yang ada pada mereka dapat melahirkan kebaikan akhlaq, dan kebaikan
akhlaq akan menciptakan kebersihan dan kesucian hati. Manakala hati telah bersih dan suci ia akan memberikan cahaya terang dan dengan
cahaya itu dada akan menjadi lebih cerah. Semuanya itu merupakan kekuatan bagi mereka dalam usahanya memahami apa yang harus dilakukan menurut perintah syariat. Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang berjudul al-Aqidah al-Wasithiyah memberi tanggapan terhadap hadits tsaqalain sebagai berikut:
‘Dua kalimat hadis tsaqalain yang menyatakan ‘dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh’, dan ‘jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat’, hal tersebut tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulullah saw saja, melainkan berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari keluarga keturunan beliau, baik yang awam maupun yang khawas, yang menjadi Imam maupun yang tidak’.
Perkataan Ibnu Taimiyah semakin menjelaskan bahwa masalah kafa’ah yang dilaksanakan oleh para keturunan Rasulullah, baik ia seorang ulama ataupun ia seorang awam, di mana status mereka sebagai padanan alquran, bukanlah suatu yang bertentangan
dengan ajaran Islam atau berdasar kepada adat semata-mata.
Disamping itu, hal itu dilakukan berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam alquran, diantaranya surat Surat Muhammad ayat 22-23 yang berbunyi:
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan ?. Mereka itulah orang-orang
yang dila’nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”.
Sebagai pelengkap uraian di atas, seorang hakim pengadilan Mesir memfasakhkan pernikahan
seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid seperti yang terdapat dalam Fatawa al-Manar, Juz VII, hal 447 ditulis:
‘Sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus peradilan di Mesir pada sekitar tahun 1904, mengenai perkawinan Syekh Ali Yusuf, pemimpin majalah al-Mu’ayyad dengan sayidah Shofiyah binti sayid Abdul Khaliq al-Saadat. Hakim syar’i menetapkan batalnya akad berdasarkan tidak adanya kafa’ah.
Karena si perempuan dari golongan Alawiyah sedang syekh Ali Yusuf bukan orang Alawi’.
Sungguh patut disesalkan jika seseorang
dalam suatu pernikahan mengangkat wali kuasa sebagai wali nikah (wali hakim) dan dengan sengaja menikahkan wanita tersebut tanpa seizin wali
terdekatnya, apalagi tidak sekufu’ serta seorang syarifah yang kawin lari dengan laki-laki yang bukan sayid dikarenakan orang tua mereka
tidak menyetujui pernikahan tersebut. Tindakan tersebut merupakan suatu hal yang mengganggu Rasulullah SAW dan menyakitinya apabila terjadi
suatu perkawinan terhadap putri-putri dari keturunan beliau dengan tanpa pertimbangan kafa’ah terlebih dahulu, melalaikan amanat dan tidak
memperhatikan serta tidak menjaga perihal hubungan nasab keturunan beliau. Sehubungan dengan itu, Allah swt berfirman dalam Alquran:
“Tidak boleh bagi kalian menyakiti diri Rasulullah saw dan tidak boleh mengawini isteri-isterinya selama-lamanya setelah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar dosanya di sisi Allah swt”.
Dari ayat tersebut kita dapat memahami dan mengambil kesimpulan, bahwa apabila isteri-isteri Nabi saw saja dilarang bagi orang-orang lain untuk
mengawini mereka karena dianggap akan mengganggu Rasulullah saw, di mana ikatan mereka dengan Rasul karena adanya hubungan pernikahan,
apalagi terhadap anak cucu beliau yang bersambung karena hubungan nasab, darah dan kefamilian.
Jika kita membaca sejarah, ketika anak perempuan Abu Lahab meninggalkan orang tuanya dan hijrah ke
Madinah, beberapa orang dari kaum muslimin berpendapat bahwa hijrah mereka ke Madinah tidak ada gunanya sama sekali, karena orang tua mereka
adalah umpan api neraka. Ketika anak perempuan Abu Lahab melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah, beliau bersabda:
“Kenapa masih ada orang-orang yang masih menggangguku melalui nasab dan kerabatku? Barang siapa mengganggu nasabku dan kaum kerabatku berarti ia menggangguku, barang siapa menggangguku berarti ia mengganggu Allah
SWT”.
Begitu pula sabda Rasulullah saw:
“Amat keras murka Allah swt atas orang-orang yang menyakiti aku di dalam hal keturunanku
No comments:
Post a Comment